Jumat, 28 September 2007

MEDIASI DALAM PERATURAN-PERUNDANGAN DI INDONESIA


A. Pendahuluan
Mediasi, yang didefinisikan oleh Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tahun 2003 sebagai penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator
[1], merupakan salah satu instrument efektif penyelesaian sengketa non-litigasi yang memiliki banyak keuntungan. Keuntungan menggunakan jalur mediasi antara lain adalah bahwa sengketa dapat diselesaikan dengan prinsip win-win solution, waktu yang digunakan tidak berkepanjangan, biaya lebih ringan, tetap terpeliharanya hubungan antara dua orang yang bersengketa dan terhindarkannya persoalan mereka dari publikasi yang berlebihan. Pengakuan akan keuntungan menggunakan jalur mediasi sebagai penyelesaian sengketa non-litigasi ini dapat dilihat dalam konsideran diterbitkannya Perma No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediaisi di Pengadilan.
Mediasi tidak hanya bermanfaat bagi para pihak yang bersengketa, melainkan juga memberikan beberapa manfaat bagi dunia peradilan. Pertama, mediasi mengurangi kemungkinan menumpuknya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan. Banyaknya penyelesaian perkara melalui mediasi, dengan sendirinya, akan megurangi penumpukan perkara di pengadilan. Kedua, sedikitnya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan akan memudahkan pengawasan apabila terjadi kelambatan atau kesengajaan untuk melambatkan pemeriksaan suatu perkara untuk suatu tujuan tertentu yang tidak terpuji. Ketiga, sedikitnya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan tersebut juga akan membuat pemeriksaan perkara di pengadilan berjalan cepat.
[2]
Meski banyak memiliki kelebihan dan keuntungan, mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidaklah diatur secara memadai dalam peraturan-perundangan. Dalam UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, mediasi tidak dijelaskan secara berimbang dan proporsional. Dalam Undang-undang ini, lembaga arbitrase diatur dan dijelaskan secara detail dalam 80 (delapan puluh) pasal, sedangkan alternative penyelesaian sengketa, termasuk mediasi di antaranya, hanya disebut dalam dua pasal saja, yaitu pasal 1, butir (10) dan pasal 6 yang terdiri dari 9 ayat. Selebihnya hanya diatur secara garis besar dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Tulisan ini akan mengupas beberapa hal penting mengenai mediasi yang “sempat” diatur oleh peraturan-perundangan yang ada, yaitu prinsip mediasi, criteria mediator, prosedur mediasi dan beberapa catatan penulis mengenai regulasi mediasi di Indonesia.

B. Prinsip Mediasi
Peraturan-perundangan yang ada tidak secara detail menjelaskan prinsip-prinsip dasar dilaksanakannya mediasi. Peraturan-perundangan tersebut hanya menjelaskan beberapa prinsip mediasi. Pertama, kerahasiaan (confidentiality), yang berarti bahwa proses pelaksanaan mediasi berlangsung secara rahasia. Prinsip kerahasiaan proses mediasi dapat dilihat dalam pasal 6 ayat (6) UU No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa dengan melalui jalur mediasi memegang teguh kerahasiaan. Di samping itu, prinsip kerahasiaan ini juga dapat dilihat dalam Perma No. 02/2003 Pasal 14 ayat (1) yang secara tegas menyatakan bahwa proses mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untuk umum, kecuali para pihak yang bersengketa menghendaki lain. Namun, prinsip kerahasiaan proses mediasi tersebut juga memiliki pengecualian. Pengecualian tersebut dapat dilihat dalam pasal 1 butir 9 juncto pasal 14 ayat (2) yang menyatakan bahwa proses mediasi untuk sengketa public, yaitu sengketa-sengketa lingkungan hidup, hak asasi manusia, perlindungan konsumen, pertanahan dan perburuhan bersifat terbuka untuk umum. Kedua, pemberdayaan para pihak (individual empowerment), yang berarti bahwa dalam proses mediasi para pihak yang bersengketa didorong untuk sedapat mungkin menemukan sendiri solusi terbaik permasalahan mereka. Pasal 9 ayat (4) Perma No. 02 Tahun 2003—yang menjelaskan bahwa mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak—secara tidak langsung menjelaskan adanya prinsip pemberdayaan ini.
Ketiga, netralitas atau ketidakberpihakan (impartiality) sebagai salah satu prinsip terpenting dalam mediasi. Prinsip netralitas dan ketidakberpihakan dalam mediasi ini hanya dijelaskan secara tidak langsung dalam pasal 1 butir (5) yang menjelaskan bahwa mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian perkara. Artinya, seorang mediator sebagai pihak ketiga yang merancang dan memimpin jalannya proses mediasi harus bersikap netral dan tidak memihak. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang mediator tidak diperkenankan untuk berpihak--atau mengemukakan pertanyaan, berpendapat atau berperilaku yang bisa ditafsirkan sebagai pemihakan—kepada salah satu dari pihak yang bersengketa.
Namun, peraturan-perundangan yang ada tidak secara jelas menjelaskan prinsip kesukarelaan (voluntary), yang berarti bahwa para pihak datang ke dalam proses mediasi dengan sukarela. Pasal 2 Perma No. 02 Tahun 2003-- yang menjelaskan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator—sama sekali tidak mencerminkan adanya prinsip kesukarelaan ini.
Peraturan perundangan yang ada juga tidak secara gamblang menjelaskan prinsip lain yang membedakan antara mediasi dengan penyelesaian sengketa di pengadilan. Peraturan-perundangan tersebut tidak menjelaskan tentang, misalnya, prinsip mediasi yang dalam proses pelaksanaannya tidak mengedepankan pembuktian materiil karena memang tidak untuk memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak lainnya. Tidak dijelaskannya secara detail prinsip-prinsip mediasi ini tentu menjadi catatan penting bagi peraturan-perundangan yang ada.

C. Kriteria Mediator
Baik UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa maupun Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan sama sekali tidak menyebutkan criteria yang harus dipenuhi untuk menjadi mediator. Meski untuk garapan mediasi yang sangat spesifik, yakni mediasi untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup, kriteria mediator bisa dilihat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2000. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa untuk menjadi mediator lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan maka seseorang harus memenuhi beberapa persyaratan pokok. Pertama, dia harus cakap melakukan tindakan hokum. Kedua, berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun. Ketiga, memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidang lingkungan hidup paling sedikit 5 (lima) tahun. Keempat, tidak ada keberatan dari masyarakat (setelah diumumkan dalam jangka waktu satu bulan). Kelima, memiliki keterampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan.
[3] Keenam, dengan merujuk pada Perma No. 02 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 11, memiliki sertifikat mediator, yaitu dokumen yang menyatakan bahwa dia telah mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Mahkamah Agung.
Di samping itu, seorang calon mediator juga harus memenuhi persyaratan tambahan, yaitu disetujui oleh para pihak yang bersengketa, tidak memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa, tidak mempunyai hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa, tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak yang bersengketa dan tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya.
[4]
Meski hanya secara spesifik mengatur kriteria mediator untuk sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, kriteria mediator yang dikemukakan oleh PP No. 54 Tahun 2000 tersebut nampaknya sebagian dapat menjadi acuan bagi pengaturan kriteria mediator dalam sengketa non lingkungan hidup, sementara sebagian yang lain layak untuk dikritisi. Di antara yang layak untuk dikritisi adalah persyaratan pokok bahwa seorang mediator harus memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidang spesifik yang disengketakan paling sedikit 5 (lima) tahun. Penentuan criteria tersebut tentu terlalu berlebihan karena peran mediator bukanlah untuk mencari solusi atas persoalan yang disengketakan, melainkan untuk memberdayakan pihak-pihak yang bersengketa guna mencari solusi atas persoalan mereka sendiri. Solusi tentu bukanlah berasal dari mediator, melainkan dari para pihak yang bersengketa itu sendiri. Karenanya, seorang mediator tidak harus mengetahui, apalagi menguasai, secara detail bidang persoalan yang disengketakan.
Persyaratan pokok lainnya yang layak untuk dikritisi adalah penentuan umur minimal 30 (tigapuluh) tahun. Pertanyaan yang seringkali dimunculkan adalah mengapa seorang mediator minimal harus 30 (tiga puluh) tahun? Mengapa, misalnya, bukan 25 (dua puluh lima) atau 20 (dua puluh) tahun? Maksud penentuan umur minimal tersebut tentu tidak lain adalah bagaimana menampilkan seorang mediator yang memiliki kematangan intelektual (intellectual maturity), kedewaan berpikir dan keluasan wawasan. Kalau demikian halnya, masih perlukah penentuan batas minimal seorang mediator?

D. Prosedur Mediasi
Meski lebih fleksibel ketimbang penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi, mediasi juga memiliki prosedur-prosedur baku. Prosedur mediasi, sebagaimana dinyatakan oleh Perma No. 02 Tahun 2003 pasal 1 (item 8), adalah tahapan proses pelaksanaan mediasi sebagaimana diatur dalam Perma tersebut. Prosedur mediasi tersebut, sebagaimana disebutkan dalam pasal 7 Perma yang sama, harus diikuti oleh mediator dan para pihak yang bersengketa.
Perma No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan membagi prosedur mediasi menjadi dua tahap, yaitu tahap pramediasi dan tahapan mediasi.

Tahap Pramediasi
Pasal 3 Perma No. 02 Tahun 2003 menyatakan bahwa pada hari sidang pertama di pengadilan yang dihadiri oleh kedua belah pihak yang berperkara, hakim mewajibkan kedua belah pihak tersebut untuk terlebih dahulu menempuh jalur mediasi dengan menunda proses persidangan. Dalam hal ini hakim wajib memberikan penjelasan kepada dua pihak tersebut mengenai prosedur mediasi
Selanjutnya pasal 4 Perma yang sama menyatakan bahwa paling lama satu hari kerja setelah siding pertama, para pihak yang bersengketa wajib berunding guna memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan atau mediator di luar daftar pengadilan. Bila dalam waktu satu hari tersebut kedua belah pihak belum dapat bersepakat tentang penggunaan mediator di dalam atau luar pengadilan, mereka wajib memilih mediator dari daftar mediator yang disediakan oleh pengadilan tingkat pertama. Bila dalam waktu satu hari kerja kedua belah pihak belum dapat memilih mediator dari daftar yang disediakan oleh pengadilan, ketua majlis berwenang untuk menunjuk seorang mediator dari daftar mediator dengan penetapan. Dalam hal ini, hakim yang memeriksa suatu perkara —baik sebagai ketua ataupun anggota majlis—dilarang untuk bertindak sebagai mediator bagi pelaksanaan mediasi perkara tersebut.
Selanjutnya dalam pasal 5 Perma yang sama mengatur bahwa proses mediasi yang menggunakan mediator di luar daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan berlangsung selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari kerja. Setelah jangka waktu tersebut, para pihak yang bersengketa wajib menghadap kembali pada hakim pada sidang yang ditentukan. Dalam hal pelaksanaan mediasi mereka mencapai kesepakatan, mereka dapat meminta penetapan dengan suatu akta perdamaian. Bila kesepakatan tersebut tidak dimintakan penetapannya dalamsebuah akta perdamaian maka pihak penggugat wajib menyatakan pencabutan gugatannya.

Tahap Mediasi
Pada tahap mediasi, pasal 8 Perma tersebut menjelaskan bahwa dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja setelah pemilihan atau penunjukan mediator, para pihak wajib menyerahkan fotocopy dokumen yang memuat duduk perkara, fotocopy surat-surat yang diperlukan dan hal-hal lain yang terkait dengan sengketa kepada mediator.
Pasal 9 menyatakan bahwa mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi. Dalam proses mediasi termasuk para pihak dapat didampingi oleh kuasa hukumnya. Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Yang dimaksud dengan kaukus, sebagaimana dijelaskan oleh pasal 1 butir (4), adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak dengan tanpa dihadiri oleh pihak lainnya.
Dalam hal ini, mediator wajib mendorong para pihak yang bersengketa untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. Dalam proses mediasi ini, sebagaimana diatur dalam pasal 10, seorang mediator--atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum--dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu para pihak dalam penyelesaian perbedaan. Semua biaya jasa seorang ahli atau lebih ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.
Proses mediasi ini, sebagaimana diatur oleh pasal 9 ayat (5), berlangsung paling lama dua puluh dua hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan mediator, dengan atau tanpa adanya kesepakatan antara kedua belah pihak di akhir proses mediasi.
Pasal 11 menyatakan bahwa dalam hal mediasi menghasilkan suatu kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai tersebut dengan ditandatangani oleh para pihak. Kesepakatan yang dirumuskan oleh kedua belah pihak tersebut wajib memuat klausul pencabutan perkara atau pernyataan bahwa perkara telah selesai. Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator wajib memeriksa materi kesepakatan untuk menghindari adanya kesepakatan yang bertentangan dengan hukum.
Setelah proses mediasi selesai para pihak wajib menghadap kembali pada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan telah dicapainya kesepakatan. Atas pemberitahuan akan adanya kesepakatan tersebut, hakim dapat mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akta perdamaian.
Pasal 12 menyatakan bahwa dalam hal mediasi tidak dapat menghasilkan suatu kesepakatan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, yaitu 22 (dua puluh dua) hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal untuk mencapai kesepakatan dan memberitahukan kegagalan proses mediasi tersebut kepada hakim.
Segera setelah menerima pemberitahuan akan gagalnya proses mediasi tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan Hukum Acara yang berlaku. Dalam hal ini, pasal 13 menyatakan bahwa jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lainnya. Fotocopy dokumen dan notulen atau catatan-catatan yang ditulis oleh mediator wajib dimusnahkan. Mediator juga tidak dapat diminta menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan.

E. Beberapa Catatan Mengenai Regulasi Mediasi di Indonesia
Meski dalam batas-batas tertentu bisa dianggap sebagai sebuah indikasi kemajuan bagi perkembangan mediasi, namun tidak bisa diingkari bahwa regulasi tentang mediasi di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan. Bahkan, regulasi mengenai mediasi di Indonesia yang ada dalam UU No. 30 Tahun 1999 dan Perma No. 02 Tahun 2003 bukan saja tidak memadai, melainkan juga nampak rancu. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1 butir (10) UU No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa alternative penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, mediasi hanyalah salah satu prosedur penyelesaian sengketa atau beda pendapat di luar pengadilan. Tidak ada penjelasan lebih lanjut karena dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan “cukup jelas”.
Sementara pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 juga mengandung beberapa kelemahan mendasar. Dalam pasal 3 UU tersebut dikatakan bahwa dalam hal suatu sengketa atau beda pendapat tidak dapat diselesaikan, maka suatu sengketa atau beda pendapat tersebut, atas kesepakatan tertulis para pihak, dapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Sedangkan pasal selanjutnya, yakni pasal 4, menyatakan apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli ataupun seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat atau mediator tersebut tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternative penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
[5] Pertanyaan yang bisa dikemukakan adalah mengapa dalam dua tahapan penyelesaian sengketa tersebut bisa sama-sama menggunakan mediator?
Kelemahan lain mengenai regulasi mediasi adalah persoalan batas waktu. Mengacu pada pada pasal 9 ayat (5) Perma No. 02 Tahun 2003, batasan waktu untuk melakukan mediasi bagi perkara yang sedang disengketakan di pengadilan adalah 22 hari dan setelahnya harus dikembalikan pada proses litigatif di pengadilan. Cukup menarik bahwa Ali Mucyidin, alumnus program magister IAIN Walisongo Semarang, dalam penelitiannya mengidentifikasi beberapa persoalan yang menjadi problem utama penyebab kegagalan para hakim dalam melakukan mediasi. Di antara penyebab kegagalan tersebut adalah persoalan singkatnya waktu yang diberikan. Waktu 22 hari yang diberikan bagi penyelesaian perkara melalui jalur mediasi dirasakan masih kurang.
[6]
Di samping itu, regulasi mengenai mediasi yang ada dalam peraturan perundangan lebih banyak mengatur proses pelaksanaan mediasi yang perkaranya merupakan limpahan dari pengadilan yang dalam tradisi mediasi Barat seringkali disebut dengan court mandated mediation. Karenanya, adalah hal yang wajar manakala beberapa kalangan menilai bahwa mediasi semata-mata hanyalah pemberdayaan pasal 130 HIR dan 154 RBg. Hal ini nampak dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai.
Sementara itu, pelaksanaan mediasi atas perkara yang sejak awal diajukan pada lembaga mediasi, yang bukan limpahan dari proses litigasi di pengadilan, tidak banyak diatur dalam peraturan perundangan tersebut. Regulasi mengenai pelaksanaan mediasi di luar pengadilan hanya ditemukan sepintas dalam pasal 6 ayat (7) UU No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan adanya kewajiban untuk mendaftarkan kesepakatan tertulis yang dicapai di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan kesepakatan tertulis tersebut. Padahal, melihat kecenderungan menjamurnya pusat-pusat mediasi dan animo masyarakat yang mulai “melirik” mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sangat sulit untuk menyatakan bahwa fenomena tersebut cukup diatur dengan satu atau dua pasal saja.
[1]Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan mediasi sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988) hal. 569. Sedangkan Gary Goodpaster mendefinisikan mediasi sebagai proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (impartial) bekerja sama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Lihat Gary Goodpaster, Negosiasi dan Mediasi: Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi, (Jakarta: ELIPS Project, 1993), hal. 201
[2]Lihat Naskah Sambutan Ketua Mahkamah Agung RI Pada Temu Karya Tentang Mediasi, tanggal 7 Januari 2003
[3]Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 133
[4]Ibid, hal. 134
[5]Kritik senada juga disampaikan oleh Retnowulan Sutantio, salah seorang narasumber pada Temu Karya Tentang Mediasi. Lihat Retnowulan Sutantio, “Mediasi dan Dading”, dalam Mahkamah Agung RI, Mediasi dan Perdamaian, (Jakarta: Proyek Pendidikan dan Pelatihan Tehnis Fungsional Hakim dan Non Hakim MA RI, 2003), hal. 7-8
[6]Ali Muchyidin, Mediasi Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Tesis Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo, 2006

Rabu, 26 September 2007

REVIEW ON SARTONO KARTODIRJO'S DISSERTATION: "THE PEASANTS’ REVOLT OF BANTEN IN 1888"




Pendahuluan
Bila review disertasi dimaknai sebagai satu upaya untuk melihat kembali dan mencari titik-titik kuat dan lemah dari sebuah disertasi, maka hal itu akan terasa sulit untuk dilakukan, apalagi terhadap disertasi Sartono Kartodirdjo yang terlanjur banyak dipuji orang. Disertasi tersebut banyak dipuji karena di samping kedalaman analisis-sosiologisnya juga karena kecenderungannya untuk merintis tradisi historiografi dari yang sebelumnya banyak berorientasi pada sejarah politik ke arah sejarah social. Meski Sartono bukanlah yang pertama
[2] merintis tradisi historiografi mengenai gerakan-gerakan social di Indonesia, namun dia yang secara gemilang memunculkan salah satu elemen bangsa yang selama ini tidak banyak diperhatikan para sejarahwan, yakni para petani Banten, ke atas panggung sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Secara garis besar, disertasi yang berjudul “The Peasants’ Revolt of Banten in 1888” tersebut terdiri dari sepuluh bab. Bab I merupakan pengantar yang terdiri dari pokok pembahasan, orientasi-orientasi historis yang ada, tinjauan mengenai beberapa studi, lingkup dan tujuan studi, orientasi dan pendekatan teoritis, rangkuman studi, dan catatan metodologis. Secara keseluruhan, bab pertama ini merupakan acuan bagi keseluruhan isi dari disertasi ini.
Bab II menguraikan latar belakang sosio-ekonomis munculnya gerakan pemberontakan petani Banten. Kerangka teoritik yang membingkai studi ini adalah hipotesis bahwa gerakan keagamaan, yang pada hakikatnya merupakan gerakan social, mempunyai hubungan yang khusus dengan kelas-kelas social, dengan kondisi-kondisi ekonomi yang berlaku bagi mereka, dan dengan etos cultural di dalam kelas-kelas social tersebut. Lebih lanjut bab II ini menjelaskan hubungan antara orientasi ideologis gerakan itu dan golongan-golongan social dari mana gerakan itu memperoleh anggota-anggotanya. Perpecahan social yang tajam dalam masyarakat Banten dipaparkan dari segi sosio-ekonomis kelompok-kelompok yang saling bertentangan, yang konflik sosialnya kemudian dipertajam oleh dampak kebudayaan Barat.
[3]
Bab III menjelaskan perkembangan politik yang terjadi di wilayah Banten. Kekuasaan Belanda dengan berbagai kebijakan politik yang dibuatnya menimbulkan ketidakstabilan politik di wilayah tersebut. Secara berangsur-angsur pemerintah kolonial membangun sistem birokrasi yang memaksakan peraturan-peraturan legal-rasional kepada rakyat. Dari sini, ketegangan antara aristokrasi tradisonal dan elit agama menjadi lebih kentara. Elit agama dan sebagian aristocrat lama tetap berorientasi pada tradisionalitas, sementara elit baru lebih cenderung menerima modernisasi yang dibawa pemerintahan kolonial. Di bawah pengaruh kolonial, masyarakat Banten terpecah menjadi kelompok-kelompok yang saling bertentangan berdasarkan kesetiaan kepada lembaga-lembaga tradisional atau kepada lembaga-lembaga yang didatangkan dari luar. Hal ini tentu mengganggu pola-pola integrasi politik yang tradisional, sedangkan kekuasaan Belanda yang telah semakin kokoh menyebabkan kekuatan-kekuatan tradisional kesulitan untuk mempertahankan pengaruhnya atas masyarakat. Satu-satunya cara untuk memberikan reaksi atas munculnya efek yang mengacaukan lembaga-lembaga tradisional tersebut adalah dengan memobilisasi kaum petani dan melawan penjajahan Belanda.[4]
Bab IV menjelaskan adanya pergolakan social yang kronis sebagai satu gejala disintegrasi masyarakat Banten setelah runtuhnya kesultanan Banten. Realitas ini merupakan akibat ketidakstabilan sistem politik yang berlangsung semenjak kwartal pertama abad ke-19. Di satu sisi terjadi bentrokan antara nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai modern serta keruntuhan kekuatan-kekuatan social yang lama, sementara di sisi yang lain tidak ada kekuatan integrative lain yang menggantikannya. Kedudukan elit baru, berkat persekutuannya dengan kekuasaan yang dominan, bertambah kuat. Meski demikian, untuk waktu yang cukup lama pengaruh elit baru ini tidak efektif, karena rakyat telah terbiasa memandang pemerintah kolonial dengan sikap tidak hormat, menghina dan malahan membangkang.[5]
Sedangkan bab V menjelaskan adanya fenomena kebangkitan kembali agama yang meluas ke seluruh pulau Jawa dan sebagian besar wilayah lain di Indonesia selama paruh kedua abad ke-19. Fenomena ini berkaitan erat dengan meningkatnya jumlah orang yang naik haji, menyebarnya tarekat-tarekat dan pesantren. Kebangkitan kembali agama ini mampu mencetuskan tanggapan yang emosional terhadap situasi-situasi yang mengganggu atau menimbulkan frustasi. Sementara tarekat-tarekat yang tumbuh dan berkembang dengan suburnya mendorong fanatisme, sedangkan gagasan-gagasan eskatologis Islam mengubah para anggota tarekat menjadi kelompok-kelompok revolusioner yang militan, yang bertujuan menggulingkan kekuasaan pemerintah Belanda.
Bab VI menjelaskan peristiwa-peristiwa penting yang mendahului ledakan pemberontakan, mulai dari tahap pendahuluan untuk mengobarkan semangat massa sampai pada tahap persiapan formal yang sesungguhnya. Keresahan umum memanifestasikan dirinya dalam agitasi yang meningkat di kalangan para santri. Sementara kunjungan para guru tarekat di berbagai wilayah di Jawa telah mengobarkan semangat “perang sabil” tidak di saja di kalangan para santri, melainkan juga di kalangan petani. Cara propagandanya adalah dengan berkampanye dan melakukan indoktrinasi serentak mengenai gagasan perang suci, dan menawarkan janji-janji yang menggiurkan seperti penghapusan pajak dan pendirian negara Islam. Singkatnya, masa persiapan ini adalah saat di mana para pemimpin gerakan ini tampil ke muka, saat di mana komunikasi di antara pemimpin itu dibentuk dan diperkuat, dan rencana serta siasat disusun.
Sedangkan bab VII mendeskripsikan terjadinya pemberontakan yang meletus pada malam hari tanggal 9 Juli 1888. Pemberontakan yang terpenting terjadi di Cilegon, di mana pemusatan pemberontakan yang terbesar meledak dalam bentuk tindakan kekerasan, pembunuhan, penganiayaan dan perampokan. Deskripsi dalam bab ini mencakup keseluruhan proses, mulai dari serangan yang pertama hingga tertawannya para pemimpin pemberontakan.
Sedangkan bab VIII dan IX serta X menjelaskan tahap akhir pemberontakan, terutama menyangkut upaya-upaya penyelamatan korban-korban yang selamat dan pengejaran terhadap pemimpin-pemimpin pemberontakan yang memakan waktu cukup lama. Bab terakhir tersebut menjelaskan kebijakan-kebijakan drastis yang diambil oleh pemerintah Belanda, misalnya menempatkan pasukan-pasukan kecil di tempat-tempat yang dianggap rawan pemberontakan, pemecatan pejabat-pejabat yang dianggap bersalah melakukan tindakan sewenang-wenang sehingga menimbulkan perasaan tidak puas dan kebencian di kalangan masyarakat, pencabutan ketetapan-ketetapan mengenai pelbagai pungutan pajak, dan pengawasan-pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan pesantren dan tarekat.
[6]

Kritik Metodologi dan Narasi Sejarah
Dengan mengkaji gerakan protes petani Banten tersebut, Sartono ikut merintis kecenderungan penulisan narasi sejarah social di Indonesia. Karyanya bisa disejajarkan dengan karya-karya para sejarahwan barat seperti George T. Mc Turnan Kahin dan Herbert Feith.
[7] Kecenderungan membuat narasi sejarah social dengan analisis sosiologis ini merupakan titik kuat disertasi Sartono. Ini tentu sangat berbeda dengan kecenderungan umum di kalangan sejarahwan yang selalu menulis sejarah politik yang selalu bisa diduga isinya, yaitu perebutan kekuasaan melalui perang, suksesi berdarah, dendam para petinggi kerajaan dan lain-lain.
Namun demikian, ketajaman analisis sosiologis yang dikemukakan oleh Sartono tidak bisa serta-merta menutupi kelemahan-kelemahan narasi sejarah yang dibuatnya. Sejak awal, Sartono memang telah menegaskan keinginannya untuk berupaya semaksimal mungkin keluar dari kecenderungan merunut historiografi yang Belanda-sentris untuk menuju historiografi yang Indonesia-sentris. Namun, apa yang diinginkan oleh Sartono tersebut tidaklah sepenuhnya berjalan sesuai rencana. Dalam prakteknya Sartono seringkali terjebak pada kecenderungan yang pertama.
Kegagalan Sartono menyusun historiografi yang Indonesia-sentris sebenarnya bermula dari pilihan-pilihan sumber data kesejarahan yang dipergunakannya. Sartono hampir tidak pernah beranjak dari penggunaan data-data sejarah yang berupa dokumen-dokumen resmi milik pemerintah Belanda, baik yang berupa surat-surat atau laporan resmi yang dibuat oleh Residen Banten atau pejabat pemerintahan untuk dikirimkan pada Gubernur Jenderal di Batavia dan berita-berita acara persidangan kasus tersebut, atau pun surat dari Bupati Serang, asisten residen dan lain-lain. Tentu tidak bisa disangkal bahwa sumber-sumber data berupa dokumen-dokumen resmi milik pemerintah Belanda tersebut memiliki ideology dan kepentingannya sendiri. Dalam hal ini Sartono tidak banyak menggunakan cerita tutur yang banyak berkembang di kalangan masyarakat Banten atau pun sumber-sumber sejarah tertulis versi masyarakat Banten.
Apa yang mesti dilakukan oleh seorang sejarahwan dalam menyusun historiografi atau narasi sejarah adalah menggunakan “pendekatan sejarah total”.
[8] Yang dimaksudkan dengan “pendekatan sejarah total” dalam hal ini adalah mengoptimalkan seluruh sumber-sumber sejarah, baik berupa prasasti, dokumen-dokumen resmi, tulisan-tulisan perorangan, cerita tutur atau bahkan legenda-legenda yang berkembang di kalangan masyarakat. Meski melakukan demitologisasi sejarah adalah sebuah keharusan, namun legenda yang berkembang di kalangan masyarakat di mana setting sejarah dibuat tidak dapat diabaikan begitu saja. Paling tidak, struktur yang menyangga berdirinya sebuah legenda tentu bisa menjadi sumber sejarah. Dalam hal ini kemampuan untuk memilih dan menentukan sumber sejarah mana yang akan dipakai dan mana yang akan diabaikan memang menjadi sesuatu yang harus dimiliki oleh seorang sejarahwan.
Apa yang mestinya dilakukan oleh sejarahwan ini tidak sepenuhnya dilakukan oleh Sartono. Dia, sebagaimana telah dikemukakan di muka, hanya mengoptimalkan dokumen-dokumen resmi milik pemerintah Belanda sebagai sumber sejarah. Kesalahan ini bukan hanya membuatnya gagal untuk menyusun rangkaian sejarah yang Indonesia-sentris, melainkan juga telah menyusun historiografi yang tidak sepenuhnya obyektif dan cenderung memihak. Keberpihakan narasi sejarah yang dibuat Sartono nampak dalam pilihan kata-kata (diksi) yang dipergunakannya. Misalnya ketika menggambarkan KH. Abdul Karim, guru tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah yang paling dihormati, sebagai “banyak memperoleh keuntungan-keuntungan materi yang besar dari pengikut-pengikutnya, yang berlomba-lomba membeli tasbih, kitab suci dan benda-benda keagamaan lainnya yang berasal dari kota suci”.
[9] Contoh lain adalah ketika Sartono menggambarkan Raden Penna, patih Anyer yang sangat dimusuhi oleh masyarakat Banten, sebagai patih yang “tabah dan berani”[10] dan menggambarkan para petani Banten yang melakukan pemberontakan sebagai “haus darah”, pertemuan rahasia yang dihadiri para pemimpin tarekat diungkapkan sebagai pertemuan gelap “dengan menggunakan agama sebagai kedok”,[11]. Sartono juga menampakkan ketidaknetralannya dengan menyatakan Haji Wasit sebagai “suka bertengkar dan gampang marah,”[12] menggambarkan aktifitas Haji Marjuki dengan ungkapan “menjual jimat sebagai usaha besar dan sangat menguntungkan”.[13] Pendek kata, dalam beberapa hal narasi sejarah yang dibuat oleh Sartono lebih mirip dengan laporan kronologi peristiwa yang sengaja ditulis untuk dikirimkan pada Ratu Belanda.
Kritik pada Sartono juga bisa diberikan pada substansi isi disertasinya. Keinginannya untuk memunculkan petani dalam panggung sejarah perjuangan bangsa membuatnya lupa memetakan pemberontakan rakyat Banten dalam konteks gerakan religio-politik yang lagi marak pada saat itu. Sartono tidak banyak mengungkap situasi global yang terjadi di luar Banten, seolah-olah bahwa pemberontakan rakyat Banten terpisah dan tidak memiliki kaitan apa pun dengan dunia Islam lainnya. Stoddard melihat bahwa di hampir seluruh wilayah di Asia dan Afrika Utara, lembaga-lembaga tarekat antara abad ke-18 atau 19 banyak yang terseret dalam gerakan religio-politik.
[14] Memperhatikan penjelasan Stoddard tersebut, saya cenderung untuk menyatakan bahwa pemberontakan yang terjadi di Banten lebih merupakan gerakan kaum tarekat ketimbang gerakan petani. Dalam hal ini, Sartono memang telah menggambarkan bagaimana peran kaum tarekat dalam pemberontakan tersebut, namun dengan munculnya terma “the peasants’ revolt” maka peran tersebut nampak menjadi peran pinggiran. Padahal, berdasarkan identifikasi terhadap korban-korban yang jatuh di kalangan pemberontak nampak sekali bahwa sebagian besar adalah para anggota tarekat.
Sartono juga tidak membuat pemetaan yang jelas mengenai faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya pemberontakan di Banten. Paparan Sartono mengesankan bahwa semua factor, baik ketidakstabilan social, ekonomi, politik maupun agama, sama dominannya dalam menyebabkan terjadinya pemberontakan tersebut. Dalam hal ini, mestinya Sartono perlu memilah mana yang masuk dalam kategori factor, kondisi atau prasyarat yang cukup bagi terjadinya sebuah pemberontakan (sufficient conditions) dan mana factor, kondisi atau prasyarat yang dominan dan menjadi penentu terjadinya pemberontakan (necessary conditions). Namun hal itu tidak dilakukan Sartono. Itulah kenapa kemudian Sartono tidak mampu menjelaskan mengapa para pimpinan pemberontakan menentukan hari Ahad tanggal 8 Juli 1888 sebagai hari yang baik untuk mengawali pemberontakan.
Betapapun narasi sejarah yang dibuat Sartono banyak memiliki kelemahan, itu semua tidak akan menghalanginya untuk disebut sebagai seorang sejarahwan besar yang pernah dilahirkan di negeri ini. Sartono Kartodirjo tetaplah sejarahwan handal yang karya-karyanya layak untuk dibaca oleh siapa pun yang meminati studi ini. Wallahu a’lam bi al-shawab.















































[2]Banyak kalangan sejarahwan, termasuk Sartono Kartodirjo sendiri, menilai bahwa tradisi historiografi mengenai sejarah social di Indonesia dirintis oleh Wiselius, Cohen Stuart, Brandes, Snouck Hurgronje dan Drewes. Lihat Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten: 1888, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984, hal. 19
[3]Ibid, hal. 34-35
[4]Ibid, hal. 35-36
[5]Ibid, hal. 39-40
[6]Ibid, hal. 40
[7]M. Dawam Rahardjo, Ilmu Sejarah Profetik dan Analisis Transformasi Masyarakat, Pengantar Buku Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1994, hal. 11
[8]Meski lebih nampak sebagai novel sejarah ketimbang buku sejarah, buku yang ditulis oleh Sumanto Al-Qurthuby yang berjudul Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah Islamisasi Jawa pada abad XV merupakan contoh yang cukup bagus dalam penggunaan “pendekatan sejarah total”.
[9]Sartono, Ibid, hal. 258
[10]Ibid, hal. 325
[11]Ibid, hal. 257
[12]Ibid, hal. 269
[13]Ibid, hal. 267
[14]L. Stoddard, Dunia Baru Islam, Jakarta: Deppen, 1966, hal. 50

MEMBACA KEMBALI TESIS HUNTINGTON TENTANG BENTURAN PERADABAN ISLAM VERSUS BARAT


Pendahuluan
Dukungan George W. Bush, Presiden Amerika Serikat, terhadap pemerintah Denmark yang “dibombardir” dengan gelombang unjuk rasa karena muatan karikatur Nabi Muhammad beberapa waktu yang lalu menyisakan banyak pertanyaan. Salah satu pertanyaan yang mungkin dapat dimunculkan adalah apakah dukungan Bush terhadap pemerintah Denmark tersebut merupakan support biasa dari negara “polisi dunia” kepada sebuah negara yang sedang mengalami goncangan, atau dukungan tersebut merupakan dukungan antar negara yang merasa memiliki kesamaan ideologi atau bahkan peradaban? Kalau misalnya dukungan tersebut adalah dukungan model yang terakhir, maka pertanyaan selanjutnya adalah adakah dukungan tersebut merupakan babakan awal dari benturan peradaban (clash of civilization) sebagaimana yang diramalkan oleh Huntington beberapa waktu yang lalu?
Dalam konteks ketegangan antara pemerintah Denmark yang disupport oleh Amerika dengan dunia Islam ini, tesis mengenai benturan Islam-barat yang pernah diwacanakan oleh Huntington nampaknya akan kembali menjadi diskursus yang menarik untuk didiskusikan. Tesis Huntington sendiri sebenarnya muncul dalam konteks perdebatan tentang arah sejarah dunia pasca berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan ambruknya rival terberat Amerika Serikat (atau Barat) selama ini, Uni Soviet, pada akhir dekade 1980-an.
Perdebatan tentang arah sejarah dunia pasca perang dingin ini diawali dengan tesis yang melegenda tentang berakhirnya sejarah (the end of history) dari Francis Fukuyama, Dekan Fakultas dan Professor Ilmu Politik pada Paul H. Nitze School of Advanced International Studies, John Hopkins University. Dalam tesis yang ditulis dalam bentuk essay ini, Fukuyama memulai debat besar dengan menyatakan bahwa dengan berakhirnya era perang dingin maka tibalah akhir sejarah, yakni memuncaknya evolusi ideologis umat manusia. Bagi Fukuyama, dengan berakhirnya perang dingin berarti perdebatan mengenai bentuk ideal pemerintahan telah selesai, dan demokrasi liberal telah memenangkan pertarungan. Kemenangan liberalisme demokrasi dan ekonomi merupakan kemenangan yang tak terbantahkan dan itu berarti memudarnya pesona sistem alternatif yang ada. Dengan demikian, persoalan-persoalan ideologis adalah permasalahan masa silam, demikian juga dengan konflik-konflik besar. Perang memang masih mungkin terjadi, namun itu hanya akan terjadi di antara negara-negara dunia ketiga yang masih terjerat dalam proses sejarah.
[1]
Tanggapan paling keras terhadap tesis Fukuyama di atas datang dari Huntington. Huntington mengawali kritikannya pada Fukuyama dengan mengurai persoalan-persoalan yang terkait dengan deklinisme
[2] dan endisme[3], dua terma yang pertama kali diperkenalkannya. Bagi Huntington, tesis Fukuyama, yang dimasukkannnya dalam kategori endisme, tidak memberikan warning akan adanya bahaya melainkan memunculkan ilusi kedamaian. Keyakinan tersebut tidak mengundang tindakan korektif tetapi rasa puas diri yang santai. Akibatnya, bila tesis endisme tersebut keliru maka konsekuensi yang ditanggung akan jauh lebih berbahaya.
Dalam pandangan Huntington, Fukuyama cukup tepat dalam menekankan peran kesadaran, ide dan ideologi dalam memotivasi dan membentuk tindakan manusia dan bangsa-bangsa. Dia juga benar dalam menunjuk akhir nyata dari daya tarik komunisme sebagai ideologi yang dipandangnya sebagai kegagalan besar. Namun, lanjut Huntington, merupakan suatu hal yang keliru untuk melompat dari merosotnya komunisme ke kemenangan global liberalisme dan hilangnya ideologi sebagai sebuah kekuatan sejarah.
[4]
Ada beberapa alasan mengapa Huntington menganggap bahwa tesis Fukuyama sangat lemah dalam memprediksi arah sejarah di masa depan. Pertama, kebangkitan kembali adalah hal yang sangat mungkin. Serangkaian gagasan atau sebuah ideologi mungkin saja memudar pamornya dalam satu generasi, namun ia bisa muncul lagi dengan kekuatan yang diperbarui pada satu atau dua generasi berikutnya. Kedua, penerimaan universal demokrasi liberal tidak menghindarkan terjadinya konflik-konflik dalam liberalisme. Sejarah ideologi adalah sejarah perpecahan. Pertarungan antara mereka yang memiliki versi yang berbeda dalam ideologi yang sama seringkali lebih sengit ketimbang pertarungan antara mereka yang memiliki ideologi yang sepenuhnya berbeda. Ketiga, kemenangan sebuah ideologi tidak menafikan kemungkinan munculnya ideologi-ideologi baru. Karena bangsa-bangsa dan masyarakat bisa dikatakan akan terus berkembang, sedangkan tantangan baru bagi kesejahteraan manusia akan selalu muncul. Hal ini tentu akan meniscayakan orang untuk mengembangkan konsep, teori dan -- bukan tidak mungkin-- ideologi baru. Keempat, kemenangan demokrasi liberal belum secara signifikan menjangkau negara-negara dunia ketiga. Bahkan, jika ada sebuah kecenderungan di dunia pada hari ini, maka kecenderungan itu adalah bahwa negara-negara kembali menengok budaya, nilai-nilai dan pola perilaku tradisional mereka.
[5]
Mendambakan akhir sejarah yang damai, demikian Huntington mengakhiri kritiknya pada Fukuyama, merupakan suatu hal yang manusiawi. Namun mengharapkan hal ini terjadi merupakan suatu hal yang tidak realistis, dan merencanakan hal ini agar terjadi adalah bencana besar.

Huntington : Sifat, Batas, Benturan, dan Pengerahan Peradaban
Empat tahun setelah perdebatan seputar prediksi sejarah pasca perang dingin, tepatnya pada musim panas tahun 1993, Huntington mengemukakan sebuah tesis yang menggegerkan dan bahkan melegenda hingga sekarang. Menurutnya, sumber utama konflik di dunia pasca perang dingin bukanlah ideologi atau ekonomi. Budayalah yang akan menjadi faktor pemecah-belah umat manusia dan sumber konflik yang dominan. Negara-bangsa masih menjadi aktor dominan dalam percaturan dunia, namun konflik utama dari politik global akan terjadi antara negara dan kelompok dari peradaban yang berbeda. Benturan peradaban akan mendominasi politik global, dan garis pemisah antara peradaban akan menjelma menjadi garis pertempuran di masa depan.
[6]
Dalam hal ini, Huntington menjelaskan bahwa sebuah peradaban adalah sebuah entitas budaya. Desa-desa, wilayah-wilayah, kelompok-kelompok etnis, kelompok-kelompok bangsa, dan kelompok-kelompok agama, semua memiliki budaya yang berlainan pada tingkat keragaman budaya yang juga berlainan. Budaya sebuah desa di Italia Selatan, misalnya, mungkin berbeda dengan budaya di sebuah desa di Italia Utara, tetapi keduanya sama-sama memiliki budaya Italia yang akan membedakannya dengan budaya desa-desa di Jerman. Komunitas Eropa, sebaliknya, memiliki ciri-ciri yang sama yang membedakannya dengan komunitas Cina atau Arab. Meski demikian, bangsa Arab, Cina atau Eropa bukanlah bagian dari sebuah entitas budaya yang lebih luas. Mereka membentuk peradaban. Dengan demikian, peradaban adalah pengelompokan budaya tertinggi dari sekelompok orang dan identitas budaya paling luas yang dimiliki orang-orang yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Ia terdefinisikan baik lewat unsur-unsur obyektif yang umum, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi, maupun melalui identifikasi diri yang subyektif.
Peradaban dapat meliputi sekelompok besar manusia, seperti halnya Cina, atau hanya sekelompok kecil orang, seperti orang-orang Karibia yang berbahasa Inggris. Ia juga dapat mencakup beberapa negara bangsa atau hanya satu negara bangsa. Ia tentu saja dapat melebur dan tumpang- tindih, dan bisa mencakup sub-sub peradaban. Ia merupakan entitas yang bermakna, dan meski batas-batas di antara peradaban jarang kentara, namun mereka sesungguhnya nyata. Ia juga bersifat dinamis, ada masa naik dan runtuh, terbelah dan menyatu.
[7]
Bagi Huntington, identitas peradaban akan semakin penting di masa mendatang, dan dunia akan dibentuk sebagian besar oleh hubungan timbal balik antara tujuh atau delapan peradaban besar, yaitu peradaban Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Ortodoks-Slavik, Amerika Latin dan kemungkinan besar juga peradaban Afrika.
Ada beberapa alasan mengapa konflik yang paling penting di masa mendatang akan terjadi sepanjang perbatasan budaya yang memisahkan satu peradaban dengan peradaban lain. Pertama, perbedaan antar peradaban bukan hanya nyata, melainkan juga mendasar. Peradaban dibedakan satu sama lain oleh sejarah, bahasa, kebudayaan, tradisi dan, yang paling penting, agama. Perbedan-perbedaan ini merupakan produk yang dihasilkan selama berabad-abad, karenanya tidak akan mudah lenyap. Perbedaan-perbedaan tersebut jauh lebih mendasar ketimbang perbedaan ideologi atau rejim politik. Kedua, dunia menjadi sebuah tempat yang lebih kecil. Hubungan timbal-balik antara masyarakat dari peradaban yang berbeda semakin meningkat. Peningkatan interaksi ini menguatkan kesadaran peradaban dan kepekaan akan perbedaan di antara peradaban dan perbedaan dalam peradaban. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial di seluruh dunia memisahkan manusia dari identitas lokal yang sudah lama ada. Proses ini juga melemahkan negara-bangsa sebagai sumber identitas. Keempat, meningkatnya kesadaran-peradaban yang diperkuat oleh peran ganda Barat. Di satu sisi, Barat sedang berada dalam puncak kekuasaannya, sedang pada sisi yang lain, fenomena kembali ke akar terjadi di antara peradaban-peradaban non-Barat. Dalam hal ini, orang akan semakin sering mendengar Asianisasi, Hindunisasi, re-Islamisasi dan lain-lain. Kelima, berbeda dengan politik dan ekonomi, karakteristik dan perbedaan budaya tidak mudah dipadamkan dan dengan demikian juga tidak mudah dikompromikan dan dipecahkan.
Lebih lanjut Huntington juga menyatakan bahwa pertikaian antar peradaban terjadi pada dua tingkat, yaitu tingkat mikro dan tingkat makro. Pada tingkat mikro, kelompok-kelompok yang hidup berdampingan di sepanjang garis pemisah antara peradaban-peradaban akan bertikai, acapkali secara brutal, untuk memperebutkan kendali wilayah. Sedangkan pada tingkat makro, negara-negara dari peradaban yang berbeda bersaing untuk memperebutkan kekuasaan militer dan ekonomi, bertikai memperebutkan pengawasan atas lembaga internasional dan pihak ketiga, serta bersaing mempromosikan nilai-nilai politik dan keagamaan mereka.
[8]
Dalam hal ini, kelompok-kelompok atau negara-negara yang termasuk dalam sebuah peradaban yang terlibat dalam peperangan dengan orang-orang, kelompok atau negara dari peradaban lain biasanya cenderung untuk menggalang dukungan dari anggota lain dalam kelompok peradaban yang sama. Setelah berakhirnya perang dingin, kesamaan peradaban, yang oleh H. D. S. Grennway disebut sebagai gejala “negara satu puak”, menggantikan ideologi politik dan tatanan perimbangan kekuatan lama sebagai prinsip dasar untuk melakukan kerjasama dan koalisi. Konflik-konflik yang terjadi setelah berakhirnya perang dingin, seperti di Teluk Persia dan Bosnia, memang bukan merupakan perang besar antar peradaban, tetapi nampak bahwa konflik-konflik tersebut telah melibatkan beberapa elemen pengerahan peradaban, yang nampaknya semakin menjadi penting saat konflik tersebut berlanjut, dan hal ini mungkin memberikan sebuah gambaran masa depan.
Bagi Huntington, pengerahan dukungan berdasarkan peradaban sampai sekarang ini memang masih terbatas, namun hal ini nampak semakin berkembang, dan jelas memiliki potensi untuk menyebar lebih luas lagi. Posisi bangsa-bangsa dan perpecahan di antara mereka semakin nampak berkisar pada jalur peradaban. Di masa depan, konflik-konflik lokal yang mungkin meningkat menjadi perang besar adalah konflik-konflik yang terjadi di sepanjang garis pemisah antar peradaban. Perang dunia berikutnya, bila memang ada, adalah perang antar peradaban.
[9]

Huntington : Benturan Barat Vs Koalisi Konfusius-Islam
Dengan berakhirnya perang dingin, Barat menjadi satu-satunya kekuatan adidaya dunia, karena Uni Soviet, lawan adidayanya selama ini, telah lenyap dari peta dunia. Konflik militer antar negara-negara Barat tidak lagi terpikirkan, dan kekuasaan militer Barat tidak tertandingi. Selain Jepang, Barat tidak menghadapi tantangan ekonomi. Barat mendominasi kekuatan politik dan keamanan internasional, dan bersama Jepang mendominasi lembaga ekonomi internasional. Barat memanfaatkan lembaga, kekuatan militer, dan sumber daya ekonomi internasional untuk mengendalikan dunia dengan cara-cara yang dapat mempertahankan dominasi Barat, melindungi kepentingan Barat, dan mempromosikan nilai-nilai politik dan ekonomi Barat.
Bagi Huntington, setidaknya itulah cara masyarakat non-Barat melihat dunia baru, dan terdapat elemen kebenaran yang signifikan dalam pandangan mereka. Perbedaan kekuasaan dan persaingan untuk mendapatkan kekuasaan militer, ekonomi, dan kelembagaan dengan demikian merupakan satu sumber konflik antara Barat dan peradaban lainnya, dan perbedaan budaya adalah sumber konflik yang lain.
Pada tingkat permukaan, banyak budaya Barat yang telah membanjiri dunia. Namun, pada tingkat yang lebih mendasar, konsep Barat berbeda secara mendasar dari konsep-konsep yang berlaku dalam peradaban lain. Upaya-upaya penyebaran konsep-konsep yang berasal dari Barat seringkali justeru menghasilkan reaksi menentang dan peneguhan kembali nilai-nilai lokal. Maka poros utama politik dunia di masa depan, menurut Huntington, adalah konflik yang terjadi antara “Barat dan yang lainnya”, serta perlawanan dari peradaban non-Barat terhadap kekuasaan dan nilai-nilai Barat. Respon terhadap penyebaran nilai-nilai Barat mengambil satu bentuk atau kombinasi dari tiga bentuk. Pada satu titik yang sangat ekstrem, negara-negara non-Barat, seperti Burma dan Korea Utara, dapat berusaha melakukan isolasi, untuk melindungi masyarakat mereka dari penetrasi yang dilakukan Barat, dan dengan demikian memilih keluar dari partisipasi dalam komunitas global yang didominasi Barat. Alternatif kedua, berupaya bergabung dengan dan menerima nilai-nilai serta lembaga-lembaganya. Yang terakhir adalah berusaha “menyeimbangkan” Barat dengan cara mengembangkan kekuasaan ekonomi dan militer serta bekerja sama dengan masyarakat non-Barat lainnya melawan Barat, dan pada saat yang sama mempertahankan nilai-nilai dan institusi lokal, atau dengan kata lain berupaya menjadi modern tanpa harus mengalami pembaratan.
[10]
Patut dicatat bahwa hambatan bagi negara-negara non-Barat untuk bergabung dengan Barat sangat beragam. Negara-negara yang, karena alasan budaya dan kekuasaan, tidak ingin atau tidak bisa bergabung dengan Barat bersaing dengan Barat dengan mengembangkan ekonomi, militer dan kekuasaan politik mereka. Mereka melakukan hal ini dengan memajukan perkembangan internal mereka dan melalui kerjasama dengan negara-negara non-Barat lainnya. Bentuk yang paling mencolok dari kerjasama ini, demikian Huntington mengatakan, adalah hubungan Konfusius-Islam yang muncul untuk menghadang kepentingan, nilai dan kekuasaan Barat.[11]
Konflik antara Barat dengan negara-negara Konfusius-Islam sebagian besar berfokus pada senjata nuklir, kimia, biologi, peluru kendali balistik dan peralatan canggih lain untuk meluncurkan senjata-senjata itu. Bisa dipastikan, perhatian Barat akan terfokus pada bangsa-bangsa yang pada dasarnya atau kemungkinan besar memusuhi Barat, seperti negara-negara Konfusius-Islam, dengan membuat traktat dan konvensi internasional tentang pengawasan industri pengembangan senjata. Sementara negara-negara Konfusius-Islam pada sisi yang lain juga menegaskan hak mereka untuk memperoleh dan menyebarkan persenjataan apapun yang mereka pandang penting bagi keamanan mereka.
Hubungan militer Konfusius-Islam dengan demikian memang terjadi, dan dirancang untuk mendorong kemampuan penguasaan negara-negara anggotanya atas persenjataan dan teknologi yang dibutuhkan untuk menghadapi kekuatan militer Barat. Dengan demikian, sebuah bentuk perlombaan senjata yang baru telah muncul antara negara-negara Konfusius-Islam melawan Barat. Dalam perlombaan senjata yang lama, masing-masing pihak berupaya untuk mengimbangi atau mencapai superioritas terhadap pihak lain, sedangkan dalam bentuknya yang baru satu pihak mengembangkan persenjataannya dan pihak lain berupaya menekan kemampuan lawannya dalam pengembangan senjata.
[12]
Uraian Huntington ini diakhiri dengan rekomendasi simpatik yang mengharuskan Barat untuk mengembangkan pemahaman yang lebih baik atas agama-agama besar dan asumsi filosofis yang mendasari peradaban lain. Hal ini membutuhkan usaha untuk mengidentifikasi unsur-unsur persamaan antara Barat dengan peradaban lain. Di masa yang akan datang, tidak akan ada peradaban yang universal, melainkan sebuah dunia dengan peradaban yang berbeda-beda, dan setiap peradaban harus belajar untuk hidup berdampingan dengan peradaban yang lain.
[13]

Huntington, Sandaran Data Sejarah dan Arah Sejarah di Masa Depan
Bagi saya, tesis Huntington memang sangat layak untuk dikritisi. Huntington memang betul dalam mencendera realitas bahwa Islam telah menjadi kekuatan trans-nasional yang paling menyebar dan kuat setelah runtuhnya komunisme,
[14] namun Huntington gagal dalam mencandera kecenderungan arah sejarah di masa depan. Hal ini karena Huntington terlalu memaksakan bahwa perlu ada musuh, dalam hal ini Islam, yang harus dihadapi oleh Barat pasca tumbangnya Uni Soviet. Pemaksaan Huntington ini tentu sejalan dengan apa yang ada dalam benak sebagian orang Amerika yang selalu berupaya mencari musuh baru guna menguji coba kekuasaannya setelah runtuhnya komunisme[15] dan, celakanya, Islam menjadi pilihan pertama untuk dijadikan lawan.
Selain itu, pada rangkaian awal paparannya, Huntington menyebut tujuh atau delapan peradaban utama yang mungkin akan saling berkonfrontasi, yaitu Barat, Cina, Jepang, Islam, Hindu, Slavik Ortodok, Amerika Latin, dan mungkin juga Afrika. Banyak kalangan yang mengkritisi identifikasi peradaban yang dikemukakan Huntington tersebut. Donald K. Emmerson, misalnya, menilai bahwa identifikasi dan inventarisasi peradaban yang dikemukakan Huntington secara akademis sangat lemah. Identifikasi dan inventarisasi peradaban Huntington mencampur-adukkan banyak hal yang bermacam-macam ragamnya, termasuk dimensi letak (Barat), ajaran (Konfusius), etnis (Slavik), negara (Jepang), agama (Islam), dan benua (Afrika). Ketimbang memilah variabel tersebut secara jelas dan konsisten sehingga definisi peradaban, yang memang berganda aspeknya, dapat dibangun secara sistematis, Huntington memuaskan diri dengan susunan yang gampang saja: Peradaban merupakan golongan orang yang paling inklusif yang masih di bawah kategori seluruh manusia tapi sangat dirasakan para anggotanya sebagai sumber identitas pribadi. Huntington mengajukan kasus tiga peradaban, yaitu “orang-orang Arab, Cina, dan Barat” yang “tidak menjadi bagian dari ruang budaya yang lebih luas”. Namun pernyataan tersebut dia rusak sendiri dengan menyatakan “ Islam mempunyai bagian Arab, Turki dan Melayu”.
[16] Penggunaan istilah peradaban Konfusianis yang digunakan oleh Huntington untuk menunjuk Cina dan Korea Utara juga menyesatkan, karena istilah tersebut biasanya digunakan secara umum untuk mengidentifikasi bangsa-bangsa yang menggunakan huruf Kanji. Ini bisa diterapkan pada Jepang, Cina, Taiwan, Kedua Korea, Hongkong, Makao, bahkan Vietnam dan Singapura.[17]
Hemat saya, pandangan Huntington bahwa peradaban Islam dan Barat sebagai satu ancaman bagi yang lain tentu tidak sepenuhnya salah, karena memang ada individu-individu atau kelompok-kelompok pada dua peradaban ini yang memandang keduanya saling mengancam. Pandangan saling mengancam ini tidak hanya muncul dari kalangan less-educated dari dua peradaban yang berbeda ini, bahkan juga datang dari kalangan yang well-educated. Banyak sarjana kenamaan dari dua peradaban yang berbeda ini yang jauh sebelumnya telah menggambarkan masing-masing sebagai ancaman bagi yang lain—sekaligus ini menunjukkan ketidakorisinilan tesis Huntington. Akbar S. Ahmed, professor antropologi pada Cambridge University, misalnya, menyatakan bahwa Islam dan Barat dikonstruk sebagai peradaban yang saling berbenturan.[18] Sementara Bernard Lewis, dalam posisi yang berhadapan, menyatakan bahwa Barat menghadapi sebuah sentimen dan gerakan yang tingkatannya jauh melebihi isu, kebijakan, serta pemerintahan mereka. Hal ini tidak lain adalah benturan peradaban, suatu reaksi yang mungkin tidak rasional namun historis dari seorang lawan purba terhadap warisan budaya Yahudi-Kristen.[19] Sementara itu, Judith Miller, salah seorang kolumnis untuk The New York Times, menyatakan bahwa benturan antara Barat dan Islam adalah sebuah keniscayaan. Setelah mengawali tulisannya dengan informasi mengenai pertemuan yang dihadiri oleh para tokoh muslim di Khourtum, Sudan, pada April 1991, Miller menyatakan bahwa upaya penyerangan terhadap Barat sangat mungkin terjadi, dan itu dilakukan oleh umat Islam dengan menghalalkan segala macam cara.[20]
Bagi saya, kesalahan Huntington terletak pada sandaran data sejarah yang digunakan. Dalam mengemukakan tesisnya, Huntington bersandar pada satu data sejarah yang faktual, namun Huntington juga menutup mata dari data lain yang juga faktual. Walaupun pada satu sisi data sejarah menunjukkan adanya pertentangan antar peradaban, namun data sejarah juga menunjukkan bahwa suatu peradaban yang memiliki jangkauan universal, Islam dan Kristen misalnya, juga memiliki kekuatan integralistik yang terbatas. Sejarah juga menunjukkan bahwa dengan berakhirnya perang dingin, kecenderungan yang terjadi bukanlah pengelompokan masyarakat dalam entitas yang tertinggi, yaitu peradaban, melainkan perpecahan menuju entitas yang lebih kecil lagi, yaitu berdasarkan suku atau etnisitas.
Huntington tidak melihat fenomena gerakan budaya multiculturalism yang belakangan banyak berkembang di Amerika serikat, yang bukan hanya mengakui, bahkan juga merangkul kehadiran semua peradaban di Amerika Serikat. Ia bahkan tidak melihat fenomena perkembangan Islam di Amerika yang mencapai 12,5 juta, jauh melampaui Yahudi yang terakhir hanya berkisar 1,5 juta.
[21] Faktor lain yang diabaikan oleh Huntington adalah proses yang berangsur-angsur namun berdampak, yakni semakin lama semakin terwujudnya kesadaran dan hati nuarani global yang tidak terikat pada peradaban tertentu, melainkan mewakili jatidiri kita semua sebagai manusia, lepas dari manapun datangnya.
Pengabaian sebagian besar data sejarah ini mengakibatkan Huntington tidak dapat secara komprehensif memahami kecenderungan umum yang muncul ke permukaan. Hal inilah yang mengakibatkannya terjebak pada narasi besar (grand narration), yakni pandangan-pandangan, ungkapan-ungkapan yang bersifat total tentang persoalan-persoalan dunia. Keterjebakan pada narasi besar ini bukannya tanpa menimbulkan permasalahan sama sekali. Dalam mengidentifikasi peradaban-peradaban dunia dan benturan-benturan di antara mereka, misalnya, Huntington tidak memperhatikan bahwa perbedaan-perbedaan dan benturan dalam masing-masing peradaban pun sangat signifikan dan sangat menentukan. Karena itulah Huntington tidak mampu mengungkapkan banyak hal penting dalam relasi-relasi inter dan antar sub-sub kedua peradaban tersebut. Tesis Huntington tidak akan dapat menjelaskan bagaimana, misalnya, Irak menganeksasi Kuwait padahal keduanya berada dalam lingkup peradaban yang sama, bagaimana Amerika dan sekutunya bekerja sama dengan negara-negara Islam di Timur Tengah menghajar Irak, bagaimana Arab Saudi banyak menerima bantuan dari Amerika Serikat sementara keduanya berada dalam lingkup peradaban yang berbeda.
[22]
Kesimpulan Huntington tentang koalisi Islam-Konfusius berdasarkan penjualan senjata juga nampak mengada-ada. Syria dan Lybia yang menghadapi embargo senjata dari Barat tentu tidak bisa menampik penjualan senjata dari Cina dan Korea Utara yang memang tidak memberikan prasyarat apapun dalam kontrak jual beli senjata. Jual beli senjata antara Cina, Korea Utara dengan negara-negara Islam hanyalah hal yang lumrah belaka. Apalagi sampai saat ini, sebagaimana dikatakan oleh A. Dahana, tidak terlihat adanya “Front persatuan internasional”, sebuah jargon yang paling menonjol dalam strategi dan taktik politik luar negeri Cina, antara negara-negara Islam yang mendapatkan julukan radikal untuk menentang hegemoni Barat. Pola hubungan yang paling menonjol antara Konfusius dan negara-negara Islam justeru pola hubungan yang didasarkan pada kepentingan ekonomi dan perdagangan.
[23]
Sayang sekali, tesis Huntington ditulis pada 1993. Saya hanya ingin mengandaikan bila tesis itu ditulisnya kembali sekarang ini, di mana pun dia menulis, dia mungkin akan menarik kembali semua tesisnya, karena data sejarah yang muncul sekarang ini sudah jauh berbeda. Dia tidak akan lagi mengatakan bahwa Barat menguasai pasar internasional, karena saat ini Barat sedang “keteter” menghadapi dominasi Cina dalam sektor perdagangan dunia. Bahkan, beberapa waktu yang lalu, Jawa Pos melansir bahwa sebuah lembaga riset yang berpusat di Jerman menandaskan bahwa masyarakat dunia menengarai bahwa pada 2020 dominasi Barat akan tumbang dan poros dunia akan berpindah ke China. Dia mungkin juga akan mengatakan telah terjadi koalisi Slavik-Islam, karena kecenderungan dunia Timur atau Islam saat ini lebih senang membeli tehnologi persenjataan dari Rusia. Dia mungkin juga akan tercengang melihat banyak fenomena dialog antar iman, budaya dan bahkan juga peradaban yang berkembang belakangan ini. Pendek kata, Huntington gagal dalam membaca kecenderungan arah sejarah di masa depan. Fenomena-fenomena umum sejarah yang muncul belakangan ini sangat jauh dari apa yang dia prediksikan.
Mengakhiri diskusi ini, saya ingin mengatakan apa yang benar adalah bahwa pemahaman kita tentang berbagai persoalan tersebut selalu bersifat sebagian dan subyektif, dengan kejelasan yang lebih bersumber dari kebutuhan kita untuk memaksakan suatu jenis keteraturan intelektual pada kebingungan yang merebak di antara kita, ketimbang dari realitasnya sendiri.
[1]Francis Fukuyama, “Akhir Sejarah?”, dalam A. Zaim Rofiqi (Ed), Amerika dan Dunia: Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), 2005, hal. 2-3
[2]Deklinisme adalah keyakinan bahwa sesuatu, terutama sebuah negara, sistem politik atau sistem ekonomi, sedang mengalami kemunduran besar dan kemungkinan tidak dapat dipulihkan. Ini merupakan kecenderungan intelektual tahun 1988.
[3]Endisme adalah keyakinan bahwa sebentuk lingkup pengetahuan dan massa, terutama sesuatu yang negatif, telah berakhir. Ini merupakan kecenderungan intelektual tahun 1989.
[4]Samuel P. Huntington, “Tak Ada Jalan Keluar: Kesalahan-kesalahan Endisme”, dalam A. Zaim Rofiqi (Ed), Amerika dan Dunia: Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, (Jakarta: Yayasan Obor Dunia, 2005), hal. 48
[5]Ibid, hal. 48-50
[6]Samuel P. Huntington, “Benturan Peradaban?”, dalam A. Zaim Rofiqi (Ed), Amerika dan Dunia: Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal. 53. Lihat juga Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, terj. M. sadat Ismail, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2000), hal. 10
[7]Ibid, hal. 55-56
[8]Ibid, hal. 57-62
[9]Ibid, hal. 68-73
[10]Ibid, hal. 73-76
[11]Bentuk yang mencolok dari kerjasama Konfusius-Islam adalah munculnya negara-negara yang oleh Charles Krauthammer sebagai “negara senjata” seperti Cina, Korea Utara dan beberapa negara Timur Tengah. Mereka meningkatkan kemampuan militer mereka dengan mengimpor senjata dari Barat dan sumber-sumber non-Barat serta dengan mengembangkan industri persenjataan lokal.
[12]Ibid, hal. 81-84
[13]Ibid, hal. 86
[14]Esposito menyatakan bahwa lebih dari satu milyar pemeluk Islam memenuhi hampir seluruh penjuru dunia. Umat Islam menjadi mayoritas di empat puluh lima negara dari Afrika sampai Asia Tenggara, dan jumlah mereka semakin bertambah di Amerika, Eropa dan bekas negara-negara Uni Soviet. Lihat John L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos Atau Realitas, terj. Alwiyyah Abdurrahman dan MISSI, Bandung: Mizan, 1995, hal. 14
[15]Hal ini tergambar dalam tulisan Patrick J. Buchanan, “ Is Islam An Enemy of The United States?”, New Hampshire Sunday News, 25 November 1990
[16]Donald K. Emmerson, “Konflik Peradaban atau Fantasi Huntington”, dalam Ulumul Qur’an, Nomor 5, Vol. IV Tahun 1993
[17]A. Dahana, “Konfusianisme Plus Islam Versus Barat?”, dalam Ulumul Qur’an, Nomor 5, Vol. IV Th. 1993, hal. 35
[18]Dengan menggunakan kerangka analisis pasca-modernism, Akbar S. Ahmed ingin menunjukkan bahwa benturan peradaban antara Islam dan Barat merupakan refleksi dari era pasca modern. Era ini ditandai dengan sejumlah ciri pokok, misalnya, mempertanyakan proyek modernitas yang dianggap menciptakan suasana yang mendorong umat Islam pada cul-de-sac. Di situ kemudian muncul pertanyaan apakah Tuhan telah berpaling dari umat Islam, atau umat Islam yang berpaling dari Tuhan? Pertanyaan kedua ini banyak mendorong umat Islam pada upaya perubahan atau pergeseran pada identitas keislaman dan menolak identitas asing yang diimpor dari luar, termasuk Barat.
[19]Bernard Lewis, “ The Roots of Moslem Rage”, dalam The Atlantic Monthly, Vol. 266, September 1990, hal. 60
[20]Saiful Muzani, “Benturan Islam-Barat, Suatu Proyek di Zaman Pasca-Modern?” dalam Ulumul Qur’an, Nomor 5, Vol. IV Th. 1993, hal. 5
[21]Emmerson, hal. 45
[22]Saiful Muzani, Op. Cit, hal. 8-9
[23]A. Dahana, Op. Cit, hal. 33

ELEMEN-ELEMEN KEKUASAAN TANAH JAWA (Tafsir Simbolik Atas Tembang "Gethek Sinonggo Bajul")

Sigro milir sang gethek sinonggo bajul, Kawan doso kang

njageni Ing ngarso miwah ing pungkur, Tanapi ing kanan kiri,

Sang gethek lampahnyo alon


A. Gambaran Umum Naskah

Tembang Mijil, dengan guru wilangan 12-8-8-8-8 dan guru lagu u-i-u-i-o/a, tersebut di atas merupakan satu dari sedemikian banyak tembang yang tertulis dalam Babad Tanah Djawi.[1] Naskah asli babad ini ditulis dengan menggunakan huruf Jawa, namun kemudian banyak ditulis ulang atau diterjemahkan secara bebas dengan menggunakan huruf Latin berbahasa Indonesia dan Belanda. Tercatat sedikitnya dua orang sejarahwan Belanda yang menulis ulang naskah ini, yaitu Brandes (1900) dan Meinsma (1874). Sedangkan penterjemahan secara bebas atas naskah ini dilakukan oleh Soedibjo ZH (1980) dan Purwadi bersama Kazunori Toyoda (2005).

Tidak jelas siapa yang menulis naskah kuno yang banyak menjadi acuan para sejarahwan dalam menulis sejarah raja-raja Jawa ini. Bila Meinsma yang paling awal mendalami naskah ini mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi siapa penulis dan kapan naskah ini ditulis maka besar kemungkinan bahwa naskah ini ditulis jauh sebelum sejarahwan Belanda ini berada di Indonesia. Hal ini karena buku Meinsma yang berjudul Babad Tanah Djawi, in Proza, Javaansche Geschiedenis Loopende Tot Het Jaar 1647 der Javaansche Jaartelling [2] terbit di Belanda pada tahun 1874. Proses penelitian dan penulisan buku Meinsma, yang tentu saja mengharuskannya untuk beberapa lama tinggal di Indonesia, sudah pasti dimulai beberapa tahun sebelumnya. Namun, judul buku Meinsma mengisyaratkan bahwa naskah babad ini tentu ditulis setelah tahun 1647. Tidak disebutkan secara jelas apakah tahun 1647 dalam judul buku tersebut adalah tahun Masehi atau tahun Jawa (Ajisaka), yang keduanya berselisih sekitar 78 tahun. Namun, dengan sekilas membaca keseluruhan isi babad tersebut, bisa dipastikan bahwa tahun dalam judul tersebut adalah tahun Masehi. Hal ini karena keseluruhan naskah babad tersebut menceritakan tentang awal mula raja-raja Jawa yang pertama hingga saat meninggalnya raja terbesar Mataram, Sultan Agung Hanyakrakusuma, pada tahun 1646 M. Sedangkan tahun 1647 adalah masa-masa awal pemerintahan Sunan Mangkurat I (1646-1677), anak sekaligus pengganti Sultan Agung, yang penuh pergolakan dan pemberontakan. Pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat I ini Mataram mengalami kemunduran, bahkan muncul gejala-gejala disintegrasi.[3] Situasi Mataram yang penuh konflik ini tentu jauh dari sentuhan babad yang biasanya lebih banyak menggambarkan era keemasan masa lalu. Sangat wajar manakala penulis babad kemudian membatasi dan mengakhiri penceritaan masa lalu pada penggal sejarah pada tahun-tahun tersebut.

Dalam hal ini, R. Atmodarminto, seorang pemerhati naskah-naskah Jawa Kuno, menengarai bahwa babad-babad[4] yang menceritakan raja-raja Islam Jawa, termasuk naskah babad ini tentunya, lebih banyak ditulis oleh pujangga-pujangga Mataram akhir.[5] Identifikasi Atmodarminto tentang kapan kira-kira naskah babad tersebut ditulis, meski tidak menunjuk siapa penulis naskah, nampaknya mendekati kebenaran. Pelacakan waktu penulisan naskah babad ini bisa dipersempit dengan satu sudut pandang bahwa penulisan suatu babad sering menjadi sarana renungan tentang keagungan negara atau generasi di masa silam. Keajaiban atau kegaiban selalu dinisbahkan kepada tokoh-tokoh sejarah yang dianggap sebagai pahlawan yang pantas mendapatkan kehormatan.[6] Bila sudut pandang ini betul, maka generasi yang menuliskan naskah babad ini pastilah generasi yang merasa tertindas dan merindukan keagungan masa silam. Besar kemungkinan bahwa naskah ini ditulis pada masa kolonial, setelah 1680-an. Maka identifikasi Atmodarminto nampaknya kembali mendapatkan pembenaran, karena masa Mataram akhir adalah masa di mana kolonial Belanda mulai “mengacak-acak” tatanan pemerintahan tanah Jawa.

Terlepas dari siapa dan kapan naskah babad ini ditulis, tembang Jawa yang tertulis di dalamnya ini memang menarik untuk disimak. Bagaimana memahami tembang Jawa tersebut, pesan apa yang disampaikannya dan perspektif atau pendekatan apa yang harus digunakan merupakan problem utama yang akan dicari jawabannya dalam makalah yang singkat ini.

B. Pemaknaan Kebahasaan Teks

Sekilas bisa dilihat bahwa bahasa yang digunakan dalam tembang di atas adalah bahasa Jawa baru, meski masih nampak beberapa elemen ke-Jawa kuno-annya. Karena itulah tidak terlalu sulit untuk memahami makna kebahasaan tembang tersebut.

Pemaknaan kebahasaan atas masing-masing kata dalam tembang tersebut adalah sebagai berikut: sigro berarti segera, biasanya kata tersebut menerangkan—dan karenanya selalu berdampingan-- dengan kata kerja. Sedangkan milir berarti meluncur atau berjalan, biasanya digunakan untuk benda-benda yang berjalan atau terapung di atas air. Sang bisa diartikan si (hampir sama dengan kanjeng), yang biasanya digunakan untuk sesuatu atau seseorang yang memiliki derajat atau nilai tinggi, seperti Sang Prabu, Sang Hyang, Sang Guru dan lain-lain. Gethek berarti sampan, bentuknya lebih sederhana dari perahu, gethek biasanya terbuat dari batangan-batangan bambu atau kayu lain, bisa juga berupa batangan pohon pisang, yang diikat dengan tali yang kuat agar tidak lepas. Sinonggo berasal dari kata songgo, yang berarti menopang, mengangkat atau mendorong, yang diberi sisipan in untuk merubah kata kerja aktif menjadi pasif, sehingga sinonggo tidak lagi berarti menopang, mengangkat atau mendorong, melainkan ditopang, diangkat atau didorong. Sementara bajul berarti buaya.

Kawan doso merupakan singkatan dari sekawan doso, yang berarti empat puluh, salah satu dari angka-angka yang dalam tradisi masyarakat Jawa memiliki makna tersendiri. Kang berarti yang, kata penghubung antara kata benda dengan kata kerja atau sifat. Sedangkan njageni berarti menjaga atau mengawal, yang memiliki pengertian mengawal untuk melindungi keselamatan yang dikawal atau mencegah orang yang dikawal melarikan diri, namun dalam konteks ini nampaknya lebih tepat pada pemaknaan pertama. Ing berarti di, kata depan untuk keterangan waktu atau tempat. Ngarso berarti depan, miwah (hampir sama dengan lan) berati dan, sedangkan kata pungkur berarti belakang. Tanapi berarti juga. Lampahnyo berasal dari kata lampah yang berarti jalan, yang diberi akhiran nyo, sebuah akhiran kata yang nampaknya berasal dari elemen bahasa Jawa kuno. Sedangkan alon berarti pelan, namun mengandung suatu kepastian langkah.

Berdasarkan pemaknaan kata per kata dalam tembang tersebut, maka secara tekstual keseluruhan tembang di atas bisa diartikan: “Sampan segera berjalan dengan didorong oleh buaya, empat puluh ekor buaya yang menjaganya, mengawal di depan dan di muka, juga sebelah kanan dan sebelah kiri, sampan tersebut berjalan pelan.”

C. Kritik Historis Penulisan dan Pemahaman Teks

Bila benar bahwa naskah Babad Tanah Djawi ditulis pada masa Mataram akhir maka, meminjam periodesasi sejarah Kuntowidjoyo,[7] naskah babad tersebut ditulis pada fase mitos. Pada fase ini, seluruh aspek kehidupan masyarakat Jawa masih banyak diselimuti oleh mitos-mitos. Karena ditulis pada fase mitos ini, wajar saja manakala yang muncul dalam babad tersebut adalah kehidupan raja-raja atau pemuka agama yang banyak diselimuti oleh mitos, seperti pertarungan antara Sunan Kudus dan Kiai Ageng Pengging, pertarungan antara Jaka Tingkir dengan Dhadungawuk dan buaya-buaya penghuni Kedhung Srengenge, Panembahan Senopati yang beristerikan penguasa laut selatan dan bersahabat dengan para makhluk halus penunggu Gunung Merapi dan lain-lain.

Berpijak pada pemaknaan tekstual, sebagian masyarakat Jawa memahami bahwa tembang “gethek sinonggo bajul menceritakan perjalanan Jaka Tingkir, putera Kebo Kenongo yang di kemudian hari menjadi penguasa kesultanan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya, bersama tiga orang kawannya dari Banyubiru ke Prawata. Karena perjalanan darat dirasakan terlalu jauh dan melelahkan, maka mereka memutuskan untuk menempuh perjalanan tersebut lewat sungai. Dengan menaiki sampan (gethek), mereka menyusuri Sungai Dengkeng, Bengawan Picis dan akhirnya sampai di Kedung Srengenge. Di tempat terakhir inilah secara tiba-tiba sampan yang mereka naiki telah dikepung oleh ratusan buaya yang siap memangsa mereka. Namun, dengan berbekal kesaktian yang sangat tinggi Jaka Tingkir dan kawan-kawannya dapat mengalahkan buaya-buaya tersebut. Bahkan, dengan sukarela buaya-buaya tersebut akhirnya mendorong dan mengawal sampan yang mereka naiki hingga sampai pinggir Desa Bulu, satu desa dengan sungai yang terdekat dengan wilayah Prawoto.[8]

Bagi masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah bagian Selatan, Jaka Tingkir merupakan pahlawan besar yang kepadanya disandarkan cerita-cerita atau mitos-mitos kesaktian. Dia, sejalan dengan pemaknaan tekstual tembang di atas, dianggap menguasai masyarakat buaya, sebagaimana kakeknya Jaka Sengara, yang juga dikenal dengan sebutan Adipati Handayaningrat.[9]

Menurut saya, tembang “gethek sinonggo bajul” di atas tidak harus ditafsiri dengan model penafsiran tekstual. Karena penafsiran tekstual atas tembang tersebut hanya akan menyeret kita pada kepercayaan akan mitos-mitos tentang seorang pahlawan Jawa yang dengan segenap kemampuan “linuwih”-nya mampu mengalahkan ratusan buaya, dan memerintahkan empat puluh ekor di antaranya untuk mengantar perjalanannya bersama beberapa temannya ke Prawoto. Penafsiran yang cukup menarik diberikan oleh Suwardi Endraswara. Dia tidak memaknai buaya-buaya yang membantu Jaka Tingkir dengan penafsiran tekstual. Menurutnya, yang membantu Jaka Tingkir bukanlah kawanan buaya, melainkan kawanan perampok (begal) di bawah pimpinan Bajul Sengara yang banyak beroperasi di sekitar Kedhung Srengenge.[10]

Bagi saya, penafsiran atas tembang tersebut akan lebih tepat bila menggunakan model penafsiran simbolik, yang pertama kali diintrodusir oleh Paul Ricoeur.[11] Penafsiran simbolik akan memberikan perspektif yang berbeda dalam membongkar model penafsiran tunggal sebagaimana yang telah dilakukan oleh masyarakat Jawa atas tembang tersebut.

Dengan mengoperasionalkan penafsiran simbolik, maka teks tembang tersebut dianggap bersifat otonom, berdiri sendiri, tidak bergantung pada maksud pengarang atau pada situasi historis naskah di mana tembang tersebut tercantum dan pada pembaca-pembaca pertama. Menafsirkan tembang tersebut berarti menghubungkann antara dua wacana, yaitu wacana tembang dan wacana interpretasi. Penafsiran selesai ketika “dunia tembang” menyatu dengan “dunia penafsir”. Maka, dua wacana atau dua dunia yang menyatu tersebut menghasilkan suatu penafsiran yang sangat berbeda dengan pemahaman masyarakat Jawa selama ini.

D. Penafsiran Teks

Tembang di atas secara tekstual tidaklah berdiri sendiri. Tembang tersebut berada di antara dua tembang Mijil yang ada dalam buku Babad Tanah Djawi. Namun, menurut saya, ketika tembang tersebut telah menjadi populer di kalangan masyarakat Jawa dan banyak dilagukan secara terpisah dari basis tekstual yang mengantarainya, maka tembang tersebut dengan sendirinya menjadi lepas dan bisa ditafsiri oleh siapa saja dengan perspektifnya masing-masing.

Pemahaman secara tekstual atas tembang di atas akan menghadirkan dalam benak kita sebuah gambaran tentang seorang atau beberapa orang ksatria yang menempuh perjalanan dengan menyusuri sungai. Mereka tidak lagi perlu mengayuh dayung, karena sampan (gethek) yang mereka tumpangi telah didorong dan disangga oleh kawanan buaya, dan empat puluh ekor di antaranya menjaganya. Cukup dengan memberikan perintah atau aba-aba, maka buaya-buaya tersebut akan mengantarkannya sampai tempat tujuan.

Menurut saya, dengan mengoperasionalkan penafsiran simbolik, gambaran fisik di atas bisa dipahami dalam logika ilmu politik. Gethek secara kebahasaan memang merupakan sarana transportasi air, namun gethek bisa dimaknai sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ia juga bisa dimaknai sebagai purbawasesa (kekuasaan) untuk mencapai kemakmuran sebuah negara. Sedangkan para ksatria yang berada di atas gethek adalah para raja yang karena kecakapannya diberi purbawasesa. Sementara kata-kata yang diucapkan para penumpang sampan (gethek) untuk memerintahkan mengayuh dayung tentu bisa dimaknai sebagai keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan penting yang mesti diambil oleh raja dalam kerangka penyelamatan negara dan kesejahteraan rakyat.

Air yang menjadi pijakan sampan (gethek) untuk sampai ke hilir atau hulu adalah rakyat (kawulo), masyarakat kecil yang kadang santun dan tunduk kepada rajanya, namun pada suatu waktu ketika terusik harga dirinya akan menjadi sedemikian garang. Air bisa menenggelamkan orang-orang yang berada di atas gethek, sebagaimana rakyat kecil yang karena diperlakukan secara tidak adil juga akan membahayakan eksistensi kekuasaan raja. Sementara bajul yang menjadi penunggu sungai bisa dimaknai sebagai tokoh masyarakat, bangsawan-bangsawan lokal atau para punggawa kerajaan. Para tokoh masyarakat atau bangsawan lokal ini akan menambah wibawa eksistensi suatu masyarakat, sehingga tidak akan diobok-obok oleh orang luar, sebagaimana sungai yang dihuni buaya juga tidak akan dibuat mandi secara sembarangan. Seorang raja akan memiliki legitimasi yang kuat manakala kekuasaannya didukung oleh para tokoh masyarakat, bangsawan dan punggawa kerajaan, sebagaimana sampan akan berjalan menyusuri sungai dengan langkah yang pasti.

Sedangkan “kawan doso” tidak harus dimaknai secara kaku dengan empat puluh, meski dalam tradisi masyarakat Jawa angka tersebut dianggap memiliki nilai tersendiri. Dalam tradisi masyarakat Jawa, angka empat puluh memang dianggap keramat dan punya nilai mistis. Itulah sebabnya mengapa biasanya para penguasa Jawa menjadikan angka tersebut sebagai jumlah pasukan elit pengawal raja, semacam pasukan pengawal dan pengaman presiden (paspampres) untuk saat ini. Hal ini dapat dilihat pada jumlah prajurit bayangkara (pasukan elit pengawal raja Majapahit) dan prajurit wiratamtama patang puluhan (pasukan elit pengawal Sultan Demak). Namun, penafsiran saya mengabaikan kekhasan angka tersebut. Menurut saya, “kawan doso” haruslah dimaknai sebagai bilangan yang sangat banyak. Buaya yang berjumlah empat puluh haruslah dimaknai sebagai sebanyak mungkin tokoh masyarakat, bangsawan lokal dan punggawa kerajaan. Maka semakin banyak tokoh masyarakat atau punggawa kerajaan yang bisa diorganisir oleh raja maka semakin kuatlah kekuasaannya.

Secara umum, tembang “gethek sinonggo bajul” bisa dimaknai sebagai kemampuan seorang ksatria atau calon raja untuk mengorganisir elemen-elemen kekuasaan seperti rakyat (kawula), bangsawan-bangsawan lokal (adipati dan demang) atau para punggawa kerajaan. Tembang tersebut menggambarkan elemen-elemen kekuasaan tanah Jawa yang harus dirangkul, diakomodir dan diorganisir oleh raja dalam rangka melanggengkan kekuasaannya. Seorang raja, bila dia ingin menjadi raja yang benar-benar “gung binathara”, haruslah mampu mengorganisir elemen-elemen kekuasaan yang ada di bawahnya, dengan membuat kebijakan-kebijakan yang populis. Bila hal itu tidak dilakukan oleh seorang raja, maka cepat atau lambat kekuasaannya dijatuhkan oleh rakyat atau punggawanya.

Saya kira tembang di atas sangat tepat untuk menggambarkan suasana kondusif yang diwujudkan oleh Karebet, pemuda dari Tingkir yang kemudian karena kecakapannya mampu menjadi sultan yang disegani di seluruh penjuru tanah Jawa. Pada masa pemerintahannya, hampir tidak pernah terjadi pergolakan-pergolakan politik yang bisa mengancam keutuhan kekuasaannya. Dia mampu mengorganisir seluruh kekuatan-kekuatan politik yang ada, bukan hanya di wilayah pedaman, melainkan juga di wilayah pesisir tanah Jawa. Bahkan, “tahta suci” Giri pun menaruh rasa hormat dan mentahbiskannya sebagai sultan yang membawahi hampir seluruh adipati dan penguasa tanah perdikan di tanah Jawa.

E. Kesimpulan

Berpijak pada penafsiran dan perspektif yang saya gunakan di atas, saya bisa menyimpulkan bahwa pesan yang ingin disampaikan oleh tembang di atas sebenarnya adalah pesan politik bagi generasi setelah tembang tersebut ditulis, termasuk generasi kita sekarang ini. Inti pesan tembang di atas adalah bahwa untuk menjadi raja atau pemimpin yang baik dan tetap survive diperlukan kemampuan untuk mengorganisir kekuatan-kekuatan dan elemen-elemen kekuasaan yang ada di bawahnya, misalnya rakyat, bangsawan lokal dan punggawa kerajaan. Sang raja atau pemimpin harus mampu mengeluarkan titah yang dapat memuaskan hati elemen-elemen kekuasaan tersebut, berupa keputusan dan kebijakan yang memihak pada rakyat kecil.

Semarang, 31 Juli 2006

Akhmad Arif Junaidi,



[1]Naskah kuno ini dapat dilihat pada Perpustakaan Nasional seri No. 1289

[2]Lihat Meinsma, JJ, Babad Tanah Djawi in Proza, Javaansche Geschiedenis Loopende Tot Het Jaar 1647 der Javaansche Jaartelling, ‘s-Gravenhage: KITLV, 1874

[3]Pada masa pemerintahannya, Sunan Amangkurat I banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak populer yang menimbulkan disintegrasi. Lihat S. Margana, Kraton Surakarta dan Yogyakarta: 1769-1874), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal. xv

[4]Termasuk dalam babad-babad tersebut adalah Serat Kandha, Tembang Babad Demak dan Babad Tanah Djawi.

[5]R. Atmodraminto, Babad Demak Dalam Tafsir Sosial Politik Keislaman dan Kebangsaan, Jakarta: Millenium Publisher, 2000, hal. vii

[6]Berdasarkan cara pandang ini, Slamet Muljana bahkan berani mengidentifikasi bahwa Babad Tanah Djawi ditulis pada awal abad ke-18. Lihat Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LKiS, 2005, hal. xviii

[7]Kuntowidjoyo membagi periodesasi sejarah orang Islam Jawa menjadi tiga fase. Pertama, fase mitos yang dimulai dari awal kedatangan Islam hingga tahun 1800-an dengan ciri-ciri kehidupan religio-mitos, di mana kehidupan orang-orang Jawa masih diselimuti mitos. Kedua, fase ideologi yang dimulai dari 1800-an hingga pertengahan era orde baru, yang ditandai dengan munculnya upaya menjadikan agama sebagai ideologi sosial yang bersifat responsif. Ketiga, fase ilmu atau ide yang ditandai dengan munculnya spirit keagamaan yang beridentitas urban dan penempatan agama agent of progress bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Lihat Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Yogyakarta: Sholahudin Press, 1994, hal. 29

[8]Tentang kisah perjalanan hidup Jaka Tingkir ini secara lengkap dapat dilihat pada Agus Wahyudi, Karebet: Kisah, Intrik dan Keteladanan, Yogyakarta: Pustaka Dian, 2005

[9]Beberapa sumber menyatakan bahwa Adipati Handayaningrat masih kerabat penguasa Majapahit dan keturunan Gajah Mada. Oleh Majapahit dia dianggap berjasa karena berhasil menaklukkan wilayah ujung Timur, yaitu Blambangan dan Bali. Dengan bantuan masyarakat bajul (buaya), dia berhasil mengalahkan pasukan Raja Menak Badong (Badung, Denpasar). Dalam pertempuran di Majapahit melawan para santri yang dipimpin oleh Sunan Kudus, Adipati Handayaningrat tewas bersama Kebo Kanigoro, anak pertamanya. Lihat De Graaf dan TH Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1985, hal. 233-237

[10]Suwardi Endraswara, Tradisi Lisan Jawa, Yogyakarta: Narasi, 2005, hal. 174

[11]Paul Ricouer adalah seorang filusuf kelahiran Perancis pada tahun 1913. Terlahir dalam keluarga Kristen Protestan dan keluarganya juga dikenal sebagai keluarga cendekiawan. Lihat K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta: Gramedia, 1996, hal. 254