Rabu, 26 September 2007

HERMENEUTIKA SIMBOLIK DALAM STUDI Al-QUR'AN (Relevansi Pemikiran Paul Ricoeur Dalam Penafsiran Al-Qur'an)

Pengantar

Menyebutkan Paul Ricoeur dalam judul tulisan ini tentu tidak dimaksudkan untuk menafikan pemikir-pemikir lain. Telah banyak tokoh-tokoh pemikir lain yang juga memfokuskan perhatiannya pada fenomena symbol. Memunculkan nama Ricoeur dalam judul tulisan ini semata-mata dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hermeneutika simbolik yang dikemukakannya banyak memiliki relevansi dalam studi ini.

Hermeneutika yang digagas Ricoeur menjadi salah satu dari sedemikian banyak perspektif yang bisa ditawarkan dalam upaya membongkar model penafsiran tunggal yang selama ini muncul. Sebagaimana hermeneutika lainnya, hermeneutika yang digagas oleh Ricoeur tidak memperlakukan teks-teks keagamaan, termasuk al-Qur’an tentunya, sebagai “barang antik” yang tidak boleh disentuh dan dijamah. Sebaliknya, teks keagamaan diperlakukan sebagai “teman dialog” untuk memahami realitas social budaya.

Sebagaimana diketahui, Ricoeur memperoyeksikan kepentingannya atas sebuah asas pada penafsiran symbol. Dia membedakan antara cara jalan untuk berinteraksi dengan symbol. Pertama, berinteraksi dengan symbol dengan menganggapnya sebagai jendela makna, yang dengan menerapkannya berarti kita memasuki dunia makna. Simbol dalam kondisi ini merupakan mediator transparan yang tumbuh dari sesuatu di belakangnya. Cara ini diwakili Bultman dalam upayanya memecahkan mitos-mitos religius kuno dan mengungkap berbagai makna rasional yang terkandung dalam mitos tersebut. Cara ini oleh Ricoeur disebut sebagai “demitologisasi”. Kedua, cara yang oleh Ricoeur disebut sebagai “demistifikasi”, yang diwakili oleh Freud, Nietsze dan Marx, yaitu interaksi dengan symbol dengan menganggapnya sebagai kebenaran yang sesat yang tidak harus dipercayai, bahkan harus dibuang untuk sampai pada makna yang tersimpan. Simbol dalam kondisi ini tidaklah menjernihkan makna, tetapi menyembunyikannya dan memunculkan makna yang sesat sebagai gantinya. Kepentingan tafsir adalah menghilangkan makna sesat untuk sampai pada makna batini yang benar.

Bila penafsiran Freud, Marx, Nietsze dan Bultman dicurahkan pada symbol dalam pengertiannya yang generic, linguistik dan social, maka tafsir Ricoeur atas symbol mempersyaratkan bahwa hal itu terekspresikan dengan bahasa, dan karenanya, penafsiran symbol dicurahkan pada penafsiran symbol dalam teks-teks bahasa, dan inilah yang oleh Ricoeur dianggap sebagai puncak hermeneutika.[1]

Paul Ricoeur : Sketsa Biografi

Paul Recoeur lahir di Valence, Perancis Selatan, pada tahun 1913. Ia terlahir dari sebuah keluarga Kristen Protestan yang religius dan dipandang sebagai cendekiawan kenamaan di Perancis. Ia dibesarkan sebagai yatim piatu di Rennes. R. Dalbiez, seorang filusuf kenamaan Perancis, adalah orang yang pertama kali memperkenalkannya pada filsafat. Pengetahuannya yang mendalam tentang filsafat inilah yang membuatnya mendapatkan ‘Licence de philoshopie’ pada tahun 1930, tiga tahun setelah tercatat sebagai mahasiswa S.2 di Universitas Sorbonne. Keanggotaan “Aggregation de philosophie’ diperolehnya pada tahun 1935.

Ricoeur dipanggil untuk mengikuti program wajib militer mulai tahun 1937, satu tahun setelah mengajar di Colmar. Pada saat mobilisasi, Ricoeur masuk dalam dinas ketentaraan Perancis dan menjadi tahanan perang di Jerman hingga tahun 1945. Selama dalam tahanan inilah dia mempelajari karya-karya Husserl, Heidegger dan Jaspers. Bersama dengan sahabatnya yang berada dalam satu tahanan, Mikel Duffrenne, pada tahun 1947 Ricoeur menulis buku yang berjudul Karl Jaspers et la Philosophie de l’existence. Pada tahun yang sama, dia juga menulis buku berjudul Gabriel Marcel et Karl Jaspers.[2] Setelah bebas, dia menjadi dosen filsafat pada College Cavinol, pusat Protestan internasional untuk pendidikan dan kebudayaan di Chambonsur-Lignon.

Tahun 1948 menjadi tanjakan awal Ricoeur sebagai seorang akademisi dengan mengepalai bidang sejarah filsafat di Universitas Strasbourg, menggantikan Jean Hyppolite. Dua tahun kemudian, dia menyabet gelar Docteur des Lettres, doctor bidang kesusasteraan, dengan tesis yang berjudul Philosophie de la Volonte (filsafat kehendak). Pada tahun 1957, dia diangkat sebagai guru besar dalambidang filsafat di Universitas Sorbonne. Karena adanya keinginan untuk lebih intens melakukan pembinaan terhadap mahasiswa, pada tahun 1966, dia memilih untuk mengajar di Nanterre, salah satu filliah Universitas Sorbonne yang berada di pinggiran kota Paris. Nanterre sendiri dibuka karena Universitas Sorbonne sudah tidak dapat lagi menampung animo mahasiswa yang semakin membludak. Dua tahun kemudian, diangkat sebagai dekan di tempat tugasnya yang baru tersebut. Namun jabatan tersebut ditinggalkannya ketika terjadi gejolak mahasiswa yang berdemonstrasi yang memancing kehadiran polisi di kampus itu. Demonstrasi tersebut menyebabkan kedudukan pemerintahan Jenderal De Gaulle goyah dan nyaris jatuh.[3] Pada tahun 1968, Universitas Katolik Nijmegen, Belanda, menganugerahinya gelar doctor honoris causa untuk bidang teologi.[4]

Setelah meletakkan jabatan sebagai dekan di Nanterre, Ricoeur pindah ke Universitas Louvain di Belgia. Namun pada tahun 1973, dia berpindah lagi ke Nanterre, di mana pada saat yang sama dia juga diangkat menjadi guru besar luar biasa di Universitas Chicago. Dia juga diangkat menjadi direktur pada Pusat Studi Fenomenologi dan Hermeneutika di Paris. Semenjak itu, dia semakin banyak masalah filsafat bahasa dan hermeneutika. Bukunya yang berjudul La Metaphore Vive terbit pada tahun 1975.[5]

Pada tahun 1986, Ricoeur mendapatkan kehormatan untuk membawakan The Gifford Lectures yang sangat prestisius di Universitas Edinburgh, Skotlandia, dengan judul On Selfhood : The Queston of Personal Identity. Menurut tradisi yang telah berjalan cukup lama, The Gifford Lecturers ini memberikan kesempatan pada seorang sarjana besar kenamaan untuk melakukan sintesa atas seluruh pemikirannya. Transkrip paper yang disampaikannya dalam acara prestisius tersebut, setelah ditambah dengan paper makalah yang dipresentasikannya di Universitas Munchen, Jerman dan Universitas Roma, Italia, menjadi sebuah karya besar dengan judul Soi meme comme un antre, yang terbit pada tahun 1990.

Sebagai seorang filusuf besar, Ricoeur sering diundang sebagai pembicara dalam berbagai seminar, kongres atau lokakarya, baik di dalam maupun luar negeri. Tema yang dimintakan padanya sangat beragam, dan dia menyoroti tema yang bersangkutan dalam perspektif filosofis yang sangat dikuasainya. Dia juga banyak menulis di Majalah Esprit dan Christianisme Social.

Paul Recoeur : Kata, Makna dan Simbol

Ricoeur menyatakan bahwa kata-kata juga merupakan symbol, karena menggambarkan makna lain yang sifatnya tidak langsung, tidak begitu penting dan berupa kiasan (figurative), serta hanya dimengerti melalui symbol-simbol tersebut. Kata-kata penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi. Karenanya, terdapat kebutuhan laten dalam bahasa untuk mengungkapkan konsep-konsep melalui kata-kata. Kebutuhan laten tersebut adalah kebutuhan akan hermeneutika. Hermeneutika bertujuan untuk menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah symbol, dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi dalam symbol-simbol tersebut.

Bagi Ricoeur, symbol yang memiliki tiga dimensi, yakni cosmic, oneiric dan poetic,[6] merupakan konstruksi segala pengertian yang di dalamnya makna literal, pertama dan langsung menunjuk pada makna kedua yang metaforis dan tidak langsung, yang hanya bisa dicapai melalui makna pertama. Makna pertama yang tampak dan literal tidaklah sesat, tetapi ia menjadi satu-satunya perantara untuk mencapai makna batin. Atas dasar itu, maka target dan tujuan penafsiran bukanlah memecahkan symbol, akan tetapi bermula darinya.[7]

Dalam hal ini, Ricoeur membedakan dua symbol yang menjadi kajian hermeneutika. Pertama, symbol univocal, yaitu tanda dengan satu makna yang ditandai, seperti symbol-simbol dalam logika symbol. Kedua, symbol equivocal adalah tanda dengan makna ganda. Yang kedua inilah yang tentu menjadi garapan atau focus sebenarnya dari hermeneutika, karena hermeneutika memang harus terkait dengan teks simbolik yang memiliki makna ganda (multiple-meaning).[8]

Meski kata juga merupakan simbol yang harus disingkap maknanya, keseluruhan konsep-konsep mengenai symbol dan kata-kata tidak perlu tampil seakan-akan penuh dengan misteri. Setiap kata pada dasarnya bersifat konvensional dan tidak membawa maknanya sendiri secara langsung bagi pembaca atau pendengarnya., kecuali kata-kata onomatopoik.[9] Dalam hal ini, orang yang berbicara membentuk pola-pola makna secara tidak sadar dalam kata-kata yang dikeluarkannya. Sebuah kata bisa memiliki konotasi yang berbeda, tergantung pada pembicaranya. Meski benar bahwa makna kata dapat diturunkan dari konteks yang terdapat dalam sebuah kalimat, namun kntik juga bisa beragam menurut jamannya. Kata dan terma bisa memiliki makna ganda, selaras dengan tradisi dan budaya di mana kata dan terma tersebut diucapkan atau dituliskan. Keragaman makna yang terkandung dalam sebuah kata atau teks bila dikaitkan dengan konteksnya inilah yang dimaksudkan dengan ungkapan bahwa kata atau teks memiliki karakteristik “polisemi”, yaitu ciri khas yang menyebabkan kata-kata mempunyai makna lebih dari satu bila digunakan dalam konteks yang berbeda.

Paul Ricoeur : Teks dan Hermeneutika Simbolik

Meski banyak memiliki keragaman perspektif kefilsafatan, namun keseluruhan filsafat Ricoeur nampaknya mengarah pada hermeneutika, terutama pada interpretasi. Filsafat pada dasarnya adalah sebuah hermeneutic, yaitu kupasan tentang makna yang tersembunyi dalam teks yang kelihatan mengandung makna. Dia sendiri mengatakatan bahwa pada dasarnya seluruh filsafat adalah interpretasi atas interpretasi. Bahkan, dengan mengutip Nietzse, dia mengatakan bahwa hidup itu sendiri adalah interpretasi. Bila terdapat pluralitas makna maka di situ interpretasi diperlukan. Apalagi jika simbol-simbol dilibatkan, maka interpretasi menjadi sedemikian penting, karena terdapat multi-lapisan makna. Setiap interpretasi adalah usaha untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung, atau usaha membuka lipatan-lipatan dari tingkat makna yang terkandung dalam makna kesusasteraan.

Ricoeur memandang bahwa teks bersifat otonom untuk melakukan “dekontekstualisasi” atau melakukan “rekontekstualisasi”. Otonomi teks ada tiga macam, intensi atau maksud pengarang, situasi cultural dan kondisi pengadaan teks, dan untuk siapa teks itu dimaksudkan. Atas dasar otonomi teks tersebut, maka yang dimaksudkan dengan “dekontekstualisasi” adalah proses di mana materi teks “melepaskan diri” dari cakrawala tujuan pengarangnya. Teks membuka diri terhadap kemungkinan dibaca secara luas, di mana pembacaannya selalu berbeda-beda, tergantung latar belakang, ideology, psikologi dan lain-lain, dari pembacanya. Inilah yang dimaksudkan dengan “rekontekstualisasi”.

Dalam hal ini, Ricoeur mengatakan bahwa hubungan dengan dunia teks terletak pada hubungan dengan subjektifitas pengarangnya dan pada saat yang sama persoalan subjektifitas pembaca ditinggalkan. Untuk memahami sebuah teks, seseorang tidak perlu memproyeksikan diri terhadap teks, melainkan membuka diri terhadap teks. Dengan membuka diri terhadap teks, berarti kita “mengizinkan teks memberikan kepercayaan pada kita”. Jadi ada upaya meringankan dan mempermudah isi teks dengan cara menghayatinya. Dalam memberikan interpretasi terhadap teks, seorang interpretator tidak perlu bersitegang atau bersikap seolah-olah menghadapi teks yang beku, melainkan dia harus dapat “membaca ke dalam” teks itu.

Bagi Ricoeur, teks bersifat otonom, tidak bergantung atau berdiri sendiri, tidak bergantung pada maksud pengarang, pada situasi histories karya atau buku di mana teks tercantum dan pada pembaca-pembaca pertama. Hermeneutika tidak lagi mencari makna-makna yang tersembunyi di balik teks, tetapi mengarahkannya perhatiannya pada makna obyektif sebuah teks, terlepas dari maksud subyektif pengarang atau orang lain. Menginterpretasikan sebuah teks bukanlah mengadakan relasi intersubyektif antara subyektifitas pengarang dan subyektifitas pembaca, melainkan hubungan antara dua wacana, yaitu wacana teks dan wacana interpretasi. Interpretasi selesai bila “dunia teks” bersatu dengan “dunia interpretator”.

Ricoeur menyatakan bahwa dalam heremeutika ada tiga pembedaan yang tegas antara pemahaman, penjelasan dan interpretasi. Meski lingkaran tersebut hanya bersifat semu, seorang hermeneut harus memahami bahwa sirkularitas ketiganya tetap ada dan berjalan sedemikian rupa seolah-olah ketiganya saling menyusupi satu sama lain.

Ada tiga langkah pemahaman yang berlangsung dari penghayatan atas symbol-simbol ke gagasan tentang berpikir dari symbol-simbol. Pertama, langkah simbolik, yaitu pemahaman dari symbol ke symbol. Kedua, pemberian makna oleh symbol serta “penggalian” yang cermat atas makna. Ketiga, berpikir dengan menggunakan symbol sebagai titik tolaknya.[10] Ketika pemahaman dan penjelasan telah dilakukan, maka interpretasi dilakukan. Dalam proses hermeneutika ini, maka harus ada “perjuangan melawan distansi kultural”, yaitu penafsir harus mengambil jarak supaya ia dapat membuat interpretasi dengan baik. Interpretasi bisa dilakukan secara baik jika ada jarak dengan obyek yang dikritik. Meski demikian, kritik atau interpretasi juga akan membawa struktur-struktur yang sudah “jadi” dari gagasan-gagasan interpretator atau kritikus. Bahasa yang digunakan dalam struktur itu pun juga telah diberi “warna”. Karena itu, orang yang mmberikan kritik atau interpretasi sebenarnya telah membawa “anggapan-anggapan”. Ketika seorang hermeneut mengambil jarak dengan obyek yang ditafsirkannya, dia sebenarnya tidak bekerja dengan tangan kosong.[11]

Relevansi Hermeneutika Simbolik Dalam Penafsiran Al-Qur’an

Al-Qur’an, sebagaimana teks-teks lainnya, tidaklah turun dalam situasi yang hampa budaya. Ada banyak kultur yang mengitari dan bahkan juga mempengaruhinya. Pada saat kemunculannya, al-Qur’an senantiasa menyapa secara bertahap komunitas Arab pada abad ke-7 M, komunitas yang pertama diajaknya berdialog, dengan bahasa budaya mereka. Setiap bagian al-Qur’an, baik ayat maupun surat, tidaklah mereka pahami secara terpisah dan terlepas dari realitas keseharian mereka. Sehingga proses pemahaman terhadap al-Qur’an hampir-hampir tidak memunculkan problem-problem krusial. Problem-problem krusial yang muncul lebih banyak diakibatkan oleh benturan nilai-nilai yang dibawa oleh teks-teks keagamaan tersebut dengan nilai-nilai lama yang sudah kadung berakar pada keseharian mereka.

Problem pemahaman terhadap al-Qur’an mulai muncul ketika “kitab suci” tersebut bergeser dari pijakan sejarahnya, terlebih lagi ketika ia dipahami dan dianut oleh komunitas lain yang bukan hanya berbeda pijakan sejarahnya, melainkan juga berbeda tradisi dan weltanschaung-nya. Komunitas ini bukan hanya tidak lagi diajak berdialog secara langsung oleh al-Qur’an, melainkan dipaksa untuk membaca, mendengarkan, memahami dan mengikutinya. Tidak lagi ada dialog, kecuali dialog yang monolog.[12]

Diskursus seputar penafsiran al-Qur’an ini tidak pernah mengenal kata usai. Paling tidak ada dua sebab mengapa diskursus seputar penafsiran al-Qur’an tersebut terus berlanjut. Pertama, adanya keyakinan bahwa al-Qur’an mengandung ajaran yang senantiasa memiliki relevansi bagi setiap perubahan ruang dan waktu (shalih li kulli zaman wa makan). Kedua, al-Qur’an senantiasa menampilkan sisi lain pemaknaan yang berbeda dengan penafsiran sebelumnya. Al-Qur’an selalu menampilkan hal-hal yang inovatif dan yang absah dalam setiap gaya penafsiran.[13]

Upaya untuk menampilkan penafsiran al-Qur’an yang inovatif dan kreatif ini memiliki jalinan yang berkelindan dengan karakter ajaran al-Qur’an yang fleksibel. Keragaman perspektif yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an tidak membuatnya nampak kerdil, melainkan semakin menegaskan kelayakannya sebagai “kitab suci” yang pantas dikaji.

Dalam ungkapan yang agak apologis, Muhammad Arkoun, sebagaimana dikutip oleh Martin Van Bruinessen, menyatakan bahwa “al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian, ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal”.[14] Al-Qur’an bagaikan cermin atau kamera foto yang sanggup memantulkan seribu satu wajah sesuai dengan orang-orang yang datang untuk bercermin dan berdialog dengannya. Pemaknaan yang muncul dari al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh alam pikiran, kultur dan dunia pembacanya (the world of readers). Setiap pembaca, disadari atau tidak, melakukan tindakan penafsiran yang dianggap cocok dan otentik bagi dirinya. Ketika membaca al-Qur’an, seorang pembaca dihadapkan pada berlapis-lapis penafsiran. Pemahaman yang kita ambil adalah produk dari proses dan mata rantai penafsiran yang amat panjang.[15]

Dalam konteks inilah hermeneutika simbolik yang digagas oleh Paul Ricoeur menemukan relevansinya. Hermeneutika simbolik bisa diharapkan menjadi operatif dalam upaya memberikan tafsiran-tafsiran baru terhadap al-Qur’an. Sebagaimana hermeneutika yang lain, hermeneutika yang digagas oleh Ricoeur tidak memperlakukan al-Qur’an sebagai scriptio sacra yang tidak boleh disentuh dan dijamah. Sebaliknya, al-Qur’an diperlakukan sebagai teks yang bisa disentuh dan penafsirannya bisa dirubah (qabil li al-talmis wa al-taghyir).

Sebagai teks tertulis, al-Qur’an memenuhi criteria untuk didekati dengan hermeneutika simbolik, yang memang mempersyaratkan bahwa yang disentuh olehnya hanyalah teks-teks tertulis.[16] Dalam perspektif hermeneutika simbolik, setiap kata yang ada dalam al-Qur’an adalah symbol. Dengan demikian, setiap kata yang ada dalam al-Qur’an menggambarkan makna lain yang sifatnya tidak langsung, tidak begitu penting dan berupa kiasan (figurative), serta hanya dimengerti melalui symbol-simbol tersebut. Kata-kata yang ada dalam al-Qur’an tersebut penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi.

Setiap kata yang ada dalam al-Qur’an memiliki karakter “polisemi”, yang berarti memiliki makna yang lebih dari satu makna bila dikaitkan dengan konteks di mana kata itu dituliskan. Meski memiliki makna yang lebih dari makna literalnya, bukan berarti makna literal yang ada dalam al-Qur’an tidak begitu penting. Sebab makna literal dari sebuah kata yang ada dalam al-Qur’an menjadi jendela bagi masuknya pemahaman terhadap makna yang lain. Dengan kata lain, makna kedua tidak mungkin didapatkan tanpa melewati makna yang pertama.

Dalam upaya mencari makna yang lain dari kata literal yang ada dalam al-Qur’an tentu diperlukan langkah-langkah metodologis. Seorang mufassir harus membuat pembedaan yang tegas antara pemahaman, penjelasan dan penafsiran, meski sirkularitas ketiganya kadang terlihat semu. Seorang mufassir juga harus dapat melakukan “perjuangan melawan distansi cultural” dengan kata atau ayat al-Qur’an. Seorang mufassir harus mengambil jarak dengan obyek yang ditafsirkan, yaitu kata atau ayat yang terdapat dalam al-Qur’an. Hal ini diperlukan agar mufassir tersebut dapat membuat penafsiran yang obyektif.

Hermeneutika simbolik sebenarnya telah dipergunakan oleh para sarjana muslim di masa lalu, meski secara metodologis masih nampak sederhana. Ketika menafsirkan QS. Yasin : 78-79, Ibnu Sina melakukan langkah penafsiran yang sama. Menurutnya, konsep kebangkitan ragawi yang disinyalir ayat tersebut sebenarnya merupakan ungkapan simbolik. Ungkapan tersebut merupakan ungkapan mitos-imajinatif yang diilhamkan pada para nabi untuk mempengaruhi moral dan akhlak masyarakat awam. Yang dimaksudkan oleh al-Qur’an dengan “kebangkitan kembali” dalam ayat tersebut adalah kebangkitan spiritual.[17]

Apa yang kita dapatkan dalam literature klasik tentang penafsiran isyary nampaknya juga bisa menjadi contoh bahwa model hermeneutika simbolik juga telah lama digunakan, meski secara metodologis tentu tidak bisa sepenuhnya disamakan. Dikatakan bahwa secara metodologis tidak dapat disamakan karena memang penafsiran isyary tidak memiliki basis metodologis yang kuat.[18] Namun kesamaan di antara keduanya, paling tidak, dapat dilihat pada cara pandang mufassir isyary terhadap produk penafsirannya, yang memandang bahwa penafsiran isyary yang dihasilkannya tidaklah menafikan makna literal (dzahir al-ayat) yang dikandung oleh ayat al-Qur’an. Di balik makna yang literal dalam suatu kata atau ayat, terdapat makna yang lebih dalam (bathin).[19] Bahkan, dengan mendasarkan pada hadits nabi, mufassir isyary menyatakan bahwa setiap ayat pasti memiliki makna literal dan makna batin. Makna literal bisa diibaratkan sebagai jasad, dan makna batin merupakan ruh yang bersemayam di dalamnya. Maka, kata mufassir isyary, adakah jasad yang hidup tanpa ruh?[20]

Dalam hal ini penafsiran al-Tustury atas QS: 80 bisa dimunculkan sebagai contoh model hermeneutika klasik. Dalam ayat tersebut tertulis “Fa idza maridltu fa huwa yasyfin”. Kata “maridltu” pada ayat tersebut secara literal berarti “saya sakit”, dan “yasyfin” berarti “Dia (Tuhan) yang akan menyembuhkan aku”. Selanjutnya al-Tustury mengatakan bahwa pemaknaan dzahir atau literal pada ayat tersebut bukanlah makna yang sebenarnya. Makna yang sebenarnya dari kata “maridltu” adalah “saya punya kecenderungan berbuat tidak baik”, dan “yasyfin” pada ayat tersebut berarti “Dia (Tuhan) menghindarkan aku”. Dengan demikian, ayat tersebut berarti “Apabila saya punya kecenderungan untuk berbuat yang tidak baik maka Dia (Tuhan) akan menghindarkan aku dari melakukannya”.[21] Penafsiran yang senada dikemukakan oleh Najmudin al-Asady ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah: 249. Kata “Nahr” pada ayat tersebut secara literal berarti “sungai”. Dalam konteks ayat tersebut, al-Asady menafsirkannya dengan “kesenangan duniawi”. Jadi, tafsiran ayat tersebut adalah bahwa “Allah akan memberikan cobaan pada hamba-Nya dengan kesenangan duniawi”.[22]

Dalam literatur keislaman yang agak belakangan, banyak sekali ditemukan kecenderungan untuk melakukan penafsiran simbolik atas ungkapan dan terma tertentu dalam al-Qur’an. Fazlur Rahman, seorang tokoh neomodernisme Islam, misalnya memberikan penafsiran yang berbeda tentang Jibril. Berbeda dengan kebanyakan pemikir muslim yang lain, Rahman menyatakan bahwa Jibril sebagai pembawa wahyu bukanlah suatu agen eksternal yang berada di luar diri nabi, yang biasanya digambarkan sebagai makhluk super yang tercipta dari cahaya. Menurutnya, Jibril adalah suatu kekuatan atau agensi yang berkembang dalam hati Muhammad dan yang jika diperlukan bisa berubah menjadi operasi wahyu yang aktual.[23] Contoh lainnya adalah Muhammad Abduh, pembaharu Islam kenamaan asal Mesir, yang memberikan penafsiran bahwa syaitan bukanlah agen eksternal yang ada di luar diri—dan selalu menggoda—manusia. Syaitan dalam pandangan Abduh adalah jasad renik yang berada dalam sistem peredaran darah manusia yang selalu memberikan dorongan-dorongan negatif pada manusia untuk melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji. Itulah kenapa syaitan, karena begitu dekatnya dengan manusia, digambarkan selalu berjalan pada aliran darah manusia (yajry majra al-dam).

Baik al-Tustury, al-Asady, Muhammad Abduh atau pun Fazlur Rahman tentu menganggap bahwa kata-kata dalam al-Qur’an yang darinya dicari makna batin berdasarkan makna lahirnya adalah merupakan simbol. Kata-kata tersebut mengandung misteri yang harus ditafsirkannya sebagai upaya “pemuasan” kebutuhan spiritualnya. Dalam konteks ini, mereka telah melakukan penafsiran simbolik dengan sudut pandangnya sendiri.

Kita sendiri, dalam upaya pemenuhan hasrat keilmuan kita, juga sangat mungkin melakukan penafsiran-penafsiran simbolik yang kreatif dan inovatif, untuk mendapatkan konsep-konsep baru tentang Tuhan, Nabi, Malaikat, iman, taqwa, hari kiamat, syetan, dajjal, surga, neraka, terbitnya matahari dari ufuk barat menjelang kiamat dan lain-lain. Kita bisa memberikan penafsiran tentang dajjal bukan sebagai makhluk raksasa bermata satu yang akan memporakporandakan bumi menjelang kiamat sebagaimana yang selalu dipahami selama ini. Dajjal dalam hal ini bisa kita tafsirkan sebagai gejala, paham atau kecenderungan negatif yang dominan di muka bumi yang berpotensi merusak bumi. Terbitnya matahari di ufuk barat menjelang kiamat juga bisa ditafsirkan sebagai ketidakberaturannya sistem tata surya yang akan menghancurkan seluruh tatanan alam semesta.

Seberapa banyak kata dan ungkapan yang ada dalam al-Qur’an, sebanyak itu pula kita bisa melakukan penafsiran simbolik terhadap scriptio sacra tersebut. Persoalannya, beranikah kita dan kapan kita berani memulainya?



[1]Lihat Nashr Hamid Abu Zayd, Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan Atas Diskursus Keagamaan, Terj. Muhammad Manshur dan Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta : ICIP, 2004, hal. 55-56

[2]Lihat K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta: Gramedia, 1996, hal. 254

[3] Lihat paparan Sumaryono tentang cara kerja hermeneutika dalam E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1999, hal. 103-104

[4]Ibid, hal. 255

[5]Buku tersebut banyak mengupas tentang aturan-aturan metafora, sehingga pengoperasian metafora menjadi lebih hidup. Lihat K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Jakarta: PT. Gramedia, 1985, hal. 438-439

[6]Lihat Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, Terj. Dalam Bahasa Inggris Dari Perancis Oleh Emerson Buchanan, Boston: Beacon Press, 1969, hal. 10

[7]Lihat Nashr Hamid Abu Zayd, Op. Cit, hal. 56

[8]Richard E. Palmer, Hermeneutika : Teori Baru Mengenai Interpretasi, Terj. Musnur Hery dan Damanhuri Muhammad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 48

[9]Yaitu kata-kata yang menggambarkan makna aslinya, misalnya kata-kata yang menggambarkan suara anjing, bunyi senapan, derap suara tapak kuda dan lain-lain.

[10]Ketiga langkah tersebut sejalan dengan langkah-langkah pemahaman bahasa, yaitu semantic, refleksif dan eksistensial. Langkah semantic adalah langkah pemahaman pada tingkat ilmu bahasa murni, langkah reflektif adalah langkah pemahaman yang lebig tinggi karena berupaya merefleksikan makna, dan langkah ontologis adalah pemahaman pada tingkat being atau keberadaan makna itu sendiri.

[11]E. Sumaryono, Op. Cit, hal. 106-107

[12]Lihat pengantar penerjemah buku Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, terj. Syahiron Syamsudin dan Burhanudin Dzikri: Prinsip dan Dasar Hermeneutika Kontemporer, Yogyakarta: elSAQ Press, 2004, hal. xv

[13]Lihat Pengantar M. Amin Abdullah untuk buku Syahiron Syamsuddin, Hermeneutika Al-Qur’an Madzhab Yogya, Yogyakarta: Islamika, 2003, hal. xx

[14]Lihat Martin Van Bruinessen, Muhammad Arkoun tentang Al-Qur’an, Makalah Diskusi Yayasan Empati, 1994. Dalam ungkapan yang ampir senada, Abdullah Darraz menyatakan bahwa al-Qur’an bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain. Lihat Abdullah Darraz, Al-Naba’ al-Adzim, Mesir : Dar al-‘Urubah, 1960, hal. 111

[15]William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge : Hermeneutika Al-Qur’an Ibnu ‘Araby, Jakarta: Qalam, 2001

[16]Ricoeur dalam hal ini menyatakan bahwa hermeneutika hanya akan berhubungan dengan kata-kata tertulis sebagai ganti kata-kata yang diucapkan. Lihat E. Sumaryono, Op. Cit, hal. 107

[17]Lihat Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1994, hal. 142. Lihat juga T. J. De Bour, The History of Philosophy in Islam, New York: Dover Publication, hal. 139. Lihat juga Fazlur Rahman, Islam, Chicago: Chicago University Press, 1979, hal. 119

[18]Tidak memadainya basis metodologi dalam tafsir isyary nampak dalam terminology yang dimunculkan dalam memaknai tafsir tersebut. Tafsir isyary didefinisikan sebagai tafsir yang menta’wilkan al-Qur’an dengan selain yang tersurat karena adanya isyarat-isyarat khafy, yang nampak jelas melalui cara-cara suluk. Lihat Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut : Dar al-Fikr, tt, hal. 78

[19]Lihat Muhammad Husain al-Dzahaby, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II, Beirut : Dar al-Fikr, tt, hal. 352

[20]Ibid, hal. 354

[21]Lihat Abu Muhammad Sahl bin Abdullah al-Tustury, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Beirut : Dar al-Fikr, tt, hal. 314

[22]Najmuddin Abu Bakr bin Abdullah al-Asady, Al-Ta’wilat al-Najmiyyah, Beirut : Dar al-Fikr, tt, hal. 347

[23]Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980, hal. 81

Tidak ada komentar: