Kamis, 15 November 2007

MEMAHAMI GAYA SASTERA AL-QUR’AN:Beberapa Catatan Atas Metodologi John Wansbrough

Oleh: Akhmad Arif Junaidi

Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan salah satu kitab suci langka yang banyak mewarnai kehidupan umat manusia. Umat Islam meyakininya sebagai berasal dari Tuhan.[1] Ia merupakan wahyu yang diberikan kepada Muhammad, sebagai respon Tuhan atas situasi sosio-moral masyarakat Arab pada abad ke-7 M.[2] Pewahyuannya terentang selama kurang lebih dua puluh dua tahun, di saat mana Muhammad bangkit dari posisi sebagai seorang pembaharu keagamaan yang tidak terkenal di kota asalnya, Makkah, menjadi penguasa aktual di Madinah dan sebagian besar Jazirah Arab. Karena wahyu turun sesuai dengan kebutuhan lingkungan yang senantiasa bergerak dan berubah selaras dengan tujuan umat Islam selama masa-masa tersebut, maka wajar kalau gaya sastera Al-Qur’an berubah-ubah serta susunannya tidak sistematis.[3]
Gaya sastera Al-Qur’an yang senantiasa berubah-ubah dan susunannya yang tidak sistematis tersebut, paling tidak, terlihat pada rima dan bait ayat-ayat Al-Qur’an. Bagaimanapun, gaya sastera Al-Qur’an tidak dapat sepenuhnya disebut sebagai bentuk prosa (natsar), di samping juga tidak bisa sepenuhnya diklaim sebagai bentuk puisi (syair). Dalam puisi Arab, setiap bait harus berujung dalam konsonan (huruf atau bunyi mati) atau konsonan-konsonan yang dikelilingi oleh vokal (bunyi hidup) yang senada. Konsistensi format puisi Arab semacam ini jarang sekali ditemukan dalam Al-Qur’an, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas.[4]
Dalam Al-Qur’an juga seringkali ditemukan adanya perubahan-perubahan dari dlomir al-mutakallim wahdah (orang pertama tunggal) menjadi dlomir al-mutakallim ma’a al-ghoir (orang pertama jamak) atau sebaliknya, untuk kata ganti Allah. Untuk menunjuk kata ganti Allah tersebut, Al-Qur’an juga sering menggunakan dlomir hu (ghaib mufrod). Di samping perubahan-perubahan tersebut, dalam Al-Qur’an juga banyak terdapat repetisi-repetisi ide dan penyampaian tema yang tidak sistematis. Hal ini setidaknya nampak pada bagian awal QS. 17. Di awal surat tersebut, Al-Qur’an berupaya menceritakan kisah perjalanan malam yang ditempuh Muhammad dari Masjidil al-Haram menuju Masjid al-Aqsha. Belum tuntas dalam menceritakan kisah tersebut, secara tiba-tiba dalam ayat selanjutnya Al-Qur’an mengalihkan perhatiannya pada kisah Musa beserta kaumnya.
Gaya sastera Al-Qur’an yang senantiasa berubah-ubah dan susunannya yang tidak sistematis tersebut memunculkan polemik yang berkepanjangan. Setidaknya ada dua kubu yang berseberangan dalam kancah polemik tersebut. Pertama, sarjana muslim yang mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan kumpulan perikop yang berasal dari satu sitze im leben historis Muhammad, suatu susunan diakronis yang tidak nampak dalam aransemen teks bahasa Arab yang ada sekarang.
[5] Penilaian bahwa sastera Al-Qur’an tidak konsisten dan tidak sistematis muncul karena tolok ukur yang dipergunakan adalah aransemen teks bahasa Arab kekinian. Kelompok sarjana muslim ini memandang bahwa gaya sastera Al-Qur’an yang demikian tidak mengurangi apresiasi mereka terhadap ketinggian gaya sastera Al-Qur’an itu sendiri. Bahkan dalam batas-batas tertentu, hal tersebut justeru menunjukkan ketinggian tingkat kesusasteraan Al-Qur’an.[6] Kelompok ini juga mengatakan bahwa gaya sastera Al-Qur’an tersebut menunjukkan kemu’jizatan kitab suci umat Islam tersebut.[7] Yang unik, kelompok sarjana muslim yang lain, Ibrahim al-Nazhzham misalnya, mengemukakan teori al-Shirfah yang mengatakan bahwa sastera Al-Qur’an tidaklah luar biasa. Menurutnya, sasterawan Arab sebenarnya mampu membuat karya sastera yang sama dengan Al-Qur’an. Namun mereka tidak pernah bisa membuatnya karena Allah senantiasa mementahkan semangat dan melemahkan motivasi mereka yang ingin menandingi Al-Qur’an. Al-Nazhzham menandaskan bahwa di situlah sebenarnya letak kemu’jizatan Al-Qur’an, bukan pada ketinggian gaya sasteranya.[8]
Penilaian yang berbeda dikemukakan kelompok kedua, yaitu sebagian sarjana non muslim,[9] yang mengatakan bahwa gaya sastera Al-Qur’an yang senantiasa berubah dan susunannya tidak sistematis merupakan kelemahan internal Al-Qur’an. Meski demikian, mereka tetap meyakini keabsahan teori “pengumpulan” Al-Qur’an,[10] sebuah teori yang menunjang keberadaan Al-Qur’an sebagai wahyu yang diterima Muhammad dari Tuhan, baik substansi maupun redaksinya.
Adalah John Wansbrough, guru besar dalam tafsir Al-Qur’an di School of Oriental and African Studies, University of London, yang melangkah lebih jauh dari pada sarjana barat pada umumnya. Lewat karyanya yang berjudul Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, Wansbrough mengemukakan tesis-tesis yang kontroversial dalam kajian Al-Qur’an dan bertentangan secara diametris dengan tesis-tesis para orientalis Barat serta sarjana muslim pada umumnya. Dalam karya monumentalnya tersebut, Wansbrough mengemukakan bahwa redaksi final Al-Qur’an tidaklah ditetapkan secara definitif sebelum abad ke-3 H/9M, sedangkan kisah-kisah mengenai pengumpulan Al-Qur’an sebagai wahyu yang berasal dari Tuhan hanyalah kisah fiktif belaka. Al-Qur’an, lanjut Wansbrough, sepenuhnya berada dalam tradisi Yahudi. Lebih jauh lagi dia mengatakan bahwa Al-Qur’an yang ada dewasa ini merupakan perpaduan dari berbagai tradisi umat Islam pada dua abad pertama perkembangan Islam. Adanya repetisi dan duplikasi dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa redaksi final Al-Qur’an bukanlah proyek yang dilaksanakan secara hati-hati oleh seseorang atau sekelompok orang, tetapi agaknya lebih merupakan suatu perkembangan organic “tradisi-tradisi” selama suatu periode transmisi yang panjang, yang mencapai titik akhir pada permulaan abad ke-3 H/9 M.
Dalam upaya membuktikan tesis-tesisnya tersebut, Wansbrough mempergunakan metode kajian kritis terhadap bentuk sastera (form criticism) dan studi kritis terhadap redaksi (redaction criticism) Al-Qur’an, atau juga disebut dengan metode analisis sastera Al-Qur’an (method of literary analysis). Secara operasional, penerapan metode ini dalam pengkajian Al-Qur’an sebenarnya pernah dipergunakan oleh Richard Bell dalam memberikan penanggalan terhadap unit-unit orisinal wahyu Al-Qur’an, namun operasionalisasi metode ini oleh Wansbrough menghasilkan temuan yang jauh berbeda dari temuan kebanyakan orientalis. Di sini, bisa dilihat bahwa Wansbrough memang bukan orang pertama yang mempermasalahkan otentisitas redaksi final Al-Qur’an. Namun Wansbroughlah orang pertama yang mempermasalahkan otentisitas kitab suci tersebut dalam konteks kreasi umat Islam periode awal.

Al-Qur’an dan Penjejeran Tradisi-tradisi
Wansbrough memulai paparan tesisnya dengan mengemukakan empat contoh karakteristik teodisi Al-Qur’an. Menurutnya, ada empat contoh karakteristik yang ditemukan dalam kiasan teodisi, yaitu pembalasan (retribution), tanda (sign), pengasingan (exile) dan perjanjian (covenant). Pengkajian atas tema-tema tersebut, lanjut Wansbrough, membuahkan hasil yang sangat tidak diharapkan, yaitu adanya gaya pengulangan yang mengindikasikan adanya transmisi lisan (oral transmission) dan atau sebuah serial perikop yang sangat tidak beraturan.
[11]
Kiasan-kiasan yang berkaitan dengan tema pembalasan (retribution) mengacu pada empat hal yang substansial, yaitu ummat (nation), awwalun (predessors), qorn (generation) dan qoryah (abode), yang berdampingan dengan kata kerja khala, madla dan halaka. Ungkapan-ungkapan seperti tilka ummatun qad khalat (QS. 2: 134, 141), li kulli ummatin ajal (QS. 7: 34, QS. 10: 49), li kulli ummatin rasul (QS. 10: 47, QS. 16: 36), yang berdampingan dengan kata syahid seperti QS. 16: 89 atau dengan kata nadzir (S. 16: 63, QS. 29: 18, QS. 41: 25) dan lain-lain dipahami sebagai peringatan dan lebih memiliki signifikasi eskatologis ketimbang signifikasi histories. Penerapan serupa nampak dalam konsep al-awwalun, sebagaimana terdapat dalam bab qalu mitslama qala al-awwalun (QS. 23: 81), fa qad madlat sunnat al awwalin (QS. 8: 38, 3: 136).
Penggunaan kam ahlakna min qablihim min qarnin (QS. 6: 6, QS. 19: 74, 98 dan lain-lain) selalu tanpa nama yang hampir semuanya didasarkan pada bentuk jamak qurun. Hal yang sama juga ada dalam kam min qaryatin ahlakna (QS. 7: 4), ahlakna min qaryatin (QS. 15: 4) dan juga dalam bentuk jamak muhlik al-qura (QS.6: 131 dan QS. 28: 59). Hal ini mungkin tampak berguna untuk membedakan formulasi tema-tema umum dengan narasi perjanjian, yang dimaksudkan untuk mengintroduksi dan mengakhiri kisah-kisah pembalasan Tuhan yang ditemukan dalam Al-Qur’an. Penceritaan umat-umat terdahulu (al-umam al-khaliyah) dalam Al-Qur’an tersebut bisa jadi digagas untuk mengantarkan sebuah motif, yaitu ubi sunt qui ante nos in mundo fuere, yang menjadi karakteristik literature Wisdom.
Untuk dibedakan dengan contoh-contoh yang dihasilkan dari penceritaan al-umam al-khaliyah adalah konsep hisab dan siksa yang ditunjukkan dalam kata bala dan fatana dengan Tuhan sebagai subyeknya, seperti wa fi dzalikum bala’un min rabbikum (QS. 2: 49), wa laqad fatanna al-ladzina min qablihim (QS. 29: 3) dan khususnya kull nafsin dzaiqat al-maut wa nabluwakum bi al-syarr wa al-khoir fitnah wa ilahi turja’un (QS. 21: 35). Konstruksi yang serupa dengan menggunakan kata adlalla bisa juga dikemukakan, seperti kadzalika yudlillu man yasya’ (QS. 74: 31). Di sini, lanjut Wansbrough, keadilan Tuhan nampak berkurang oleh apa yang secara jelas menjadi gambaran tradisi “pemilihan” Bibel. Hal ini nampak jelas dalam bagian di mana Ibrahim (QS. 2: 124), Dawud (QS. 38: 24) atau Sulaiman (QS. 38: 34) merupakan obyek hisab. Hal yang juga tidak diharapkan adalah kiasan-kiasan yang dipakai dalam konteks ini merupakan akibat dari tradisi “yang tersisa” (baqiyyah, baqiyah, baqiyun). Hal ini secara umum nampak dalam al-qurun min qablikum ulu baqiyyatin (QS. 11: 116) dan secara khusus QS. 26: 120, QS. 37: 77 (Nuh), QS. 43: 28 (Ibrahim), QS. 2: 248 (Musa dan Harun), QS. 69: 8 (‘Ad) dan QS. 53: 51 (Tsamud), di mana yang terakhir diekspresikan secara negative. Penampakan dua motif Bibel ini, menurut Wansbrough, diinterpretasikan sebagai bildung serlebnis yang diasimilasikan secara tidak sempurna.
[12]
Untuk mengekpresikan “tanda” sebagai manifestasi ketuhanan dan sebagai mandat yang dibawa oleh Nabi, bahasa yang digunakan oleh Al-Qur’an sedikit lebih luas ketimbang tema-tema pembalasan. Dalam Al-Qur’an, “tanda” secara umum disampaikan dengan ungkapan ayat, yang dalam QS. 38: 29 bisa dipahami untuk menandakan ayat dari Al-Qur’an, kitabun anzalna ilaika mubarakun liyaddabbaru ayatihi. Di sisi lain ayat hanya merupakan exemplum, dan dari konteks analogis menunjukkan adanya beberapa sinonim, misalnya alamat (QS. 16: 6), ’ibrah (QS. 12 :111), uswah (QS. 60: 4), hadits (QS. 45: 6), matsal (QS. 43: 57), tadzkirah (QS.50: 37), dzikir (QS. 3: 58), dzikra (QS. 50: 37), bayyinah (QS. 20: 133), burhan (QS.4: 174) sulthan (QS. 30: 35), naba’ (QS. 38: 67), sya’air (QS. 22: 36), asyrat (QS. 47: 18) dan atsar (QS. 30: 50). Dalam QS. 48: 29, nasima dan atsar bukanlah sinonim dari ayat, tetapi mengacu pada makna jejak, bekas dan kesan. Penggunaan ungkapan-ungkapan tersebut memiliki tamtsil berupa ekspresi ramalan, seperti dalam Isaiah 37: 30, dan bisa juga mengetengahkan sebuah keajaiban atau mukjizat, seperti dalam Isaiah 7: 14.[13]
Tema ketiga yang dikemukakan Wansbrough adalah pengasingan (exile). Sumber primer tamsil ini adalah deskripsi tentang pengasingan diri Ibrahim dari lingkungan keluarganya dalam upaya pencarian Tuhan sebagaimana digambarkan oleh QS. 19: 46, 48. Penggunaan I’tazala mungkin bisa dikomparasikan dengan QS. 18: 16, yang membicarakan tentang pengasingan penghuni goa (ashhab al-kahfi) dari penyiksaan raja yang zalim. Tetapi kata kerja hajara dengan imperative (wa uhjurny) di sini menunjukkan adanya konsep Al-Qur’an tentang pengasingan, baik untuk pencarian Tuhan, penebusan dosa, penyelamatan diri atau mencari syahid (martyrdom). Penempatan imperative untuk contoh “pengasingan” yang klasik (seperti dalam genesis 12: 1 lekh lekha) menjadi jelas dalam QS. 17: 10. Selain dalam genesis 12: 1, ungkapan senada (lekh/halokh) banyak ditemukan misalnya dalam Isaiah 6: 9, Jeremiah 2: 1, Ezekiel 3: 4, Amos 7: 17 dan lain-lain. Penggunaan ungkapan yuhajir atau uhjur paralel dengan yakhruj, seperti ditunjukkan dalam QS. 4: 66.[14]
Tema keempat yang dikemukakan oleh Wansbrough adalah perjanjian (covenant), di mana locus classicus untuk tema ini adalah QS. 3: 81 yang berbunyi wa idz akhadza Allah mitsaq al-nabiyyin, yang diperjelas dalam QS. 33: 7 yang berkaitan dengan Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa. Tema tersebut juga banyak ditulis dalam tradisi tafsir untuk menggambarkan awal mula kenabian di Arab. Selain dengan kata mitsaq, perjanjian ilahy antara Tuhan dengan manusia juga diungkapkan dengan kata ahd atau ahada, baik dengan Tuhan sebagai subyek atau agen dalam QS. 2: 125, QS. 3: 183 dan lain-lain, atau Tuhan sebagai obyek sebagaimana dalam QS. 9: 75.[15] Tema perjanjian semacam ini juga banyak ditemukan dalam tradisi Judeo-Kristiani. Dari sini kemudian Wansbrough mengambil kesimpulan bahwa sumber kiasan perjanjian yang ada dalam Al-Qur’an adalah Bibel, terutama adalah lima buku pertama dari kitab perjanjian lama (pentateuchal) dan, yang juga mengejutkan, Taurat.[16]
Di samping mengatakan bahwa penyusunan Al-Qur’an berada sepenuhnya di bawah bayang-bayang tradisi Yahudi dan Nasrani, Wansbrough juga mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan perpaduan berbagai tradisi umat Islam yang awal. Untuk mendukung tesisnya tersebut, Wansbrough mengemukakan contoh beberapa versi kisah yang ada dalam Al-Qur’an. Satu di antaranya adalah kisah Syu’aib yang menurut Wansbrough terdiri dari tiga versi yang berbeda, di mana versi pertama terdapat dalam QS. 7: 85-93, versi kedua terdapat dalam QS. 11: 84-95 dan versi ketiga terdapat dalam QS. 26: 176-190.
Dalam memahami ketiga versi kisah Syu’aib tersebut dan setelah memilah masing-masing versi menjadi sembilan elemen, Wansbrough berpendapat bahwa versi pertama yang terdapat dalam QS. 7: 85-93 merupakan versi yang paling koheren, di mana ayat yang satu dengan ayat yang lain dalam versi tersebut saling berhubungan. Sedangkan versi ketiga yang terdapat dalam QS. 26: 176-190 oleh Wansbrough dianggap sebagai versi yang paling tidak koheren. Tidak adanya elemen I dalam versi ketiga, yaitu formula pengutusan (beauftragung), dan terdapatnya bentuk presentatif idz qala pada awal elemen III dalam versi yang ketiga, menunjukkan bahwa versi yang ketiga merupakan versi yang paling primitive dan mungkin diformulasikan lebih awal ketimbang versi yang lain. Formula pengutusan itu sendiri itu, seperti nampak dalam elemen I versi pertama dan kedua merupakan fase stereotype yang digunakan secara eksklusif untuk “nabi-nabi non-Bibel” (the non Bybical prophets). Dalam hal ini Wansbrough menunjuk pada ungkapan wa ila….akhahum…qala ya qoumi u’budullah yang terdapat dalam QS. 7: 65, QS. 11: 50 yang berbicara tentang pengutusan Hud pada kaum ‘Ad, QS. 7: 73, QS. 11: 61 yang berbicara tentang pengutusan Shalih pada kaum Tsamud, QS. 7: 85, QS. 29: 36 yang berbicara tentang pengutusan Syu’aib pada kaum Madyan. Formula pengutusan tersebut juga dapat dipandang sebagai suatu interpolasi editorial yang persisnya dimaksudkan untuk mengintroduksi laporan-laporan misi kenabian (report of prophetical missions) yang telah memudar dalam dialog informal.
[17]
Elemen II, yaitu corraboratio (botenformel) atau bukti-bukti yang menguatkan yang menurut Wansbrough terdapat dalam rangkaian versi yang pertama dan kedua, namun posisi orisinalitasnya mungkin lebih dekat untuk dikatakan berada dalam versi ketiga di mana substansi risalah kenabian yang merupakan elemen III yang diintrodusir dengan mengemukakan ancaman atau dakwaan. Hanya dalam versi kedua kecaman tidak langsung diikuti oleh elemen IV, yaitu berita gembira atau ramalan kemusnahan (drohwort/unheilsankundigung). Juga hanya dalam versi yang kedua, ramalan ditetapkan secara khusus sebagai akibat yang harus diterima oleh orang-orang yang menolak kenabian dan peringatan Nuh, Luth serta “nabi-nabi Arab” seperti Shalih dan Hud. Dalam versi pertama dan ketiga, kiasan yang menggambarkan al-umam al-khaliyah bersifat general. Dari sini kemudian Wansbrough menyimpulkan bahwa versi kedua mungkin lebih mempresentasikan bentuk final tradisi ketimbang versi yang pertama. Kemungkinan tersebut diperkuat oleh bentuk, jika bukan posisi elemen II yang dalam versi ketiga hanya menggunakan rasul amin, dalam versi pertama menggunakan bi al-ladzi ursiltu bihi dan dalam versi kedua menggunakan bayyinah min rabby (yang muncul agak sedikit berbeda dalam elemen III versi pertama: bayyinah min rabbikum).
[18]
Dalam elemen V, VI, VII yang berisi pertengkaran Syu’aib dengan pemuka-pemuka penduduk Madyan, dialognya kelihatan mencolok. Versi ketiga hanya berisi elemen V yaitu kontestasi (bestreitung) yang dielaborasi dalam versi pertama dan kedua hingga argumen tandingan atau justifikasi (begrundung), dan komponen ketiga (elemen VII) yang dapat digambarkan sebagai pengunduran diri serta mengakhiri percekcokan. Di sini, bagaimanapun, versi pertama menunjukkan suatu konteks argumen yang lebih konsisten dan canggih daripada versi kedua. Elemen VIII menandakan adanya pembalikan dialog ke bentuk narasi untuk melukiskan penolakan terhadap pesan-pesan Tuhan dan pelaksanaan ancaman (elemen IV) yang merupakan motif dominan dari tamsil Al-Qur’an. Posisi elemen IX yang merupakan epilog atau penilaian akhir hanya kelihatan logis dalam versi pertama saja. Dari rangkaian ayat yang ada dalam versi kedua dan ketiga, dan dari absennya dalam QS. 29: 36-37, dapat disimpulkan bahwa elemen IX dalam versi pertama merupakan suatu tambahan yang belakangan.[19]
Dari rangkaian elemen III yany berisi kecaman (diatribe), pelanggaran utama kaum Syu’aib adalah tiga hal, yaitu pengabaian kejujuran dalam praktek transaksi dagang yang diungkap Al-Qur’an dengan ungkapan aufu al-kail wa al-mizan (QS. 83: 2-3, QS. 6:152, QS. 17: 35 dan QS. 15: 58, 88), kecurangan dalam penanganan sektor properti yang diungkap dengan wa la tabkhasyu al-nas asyya’ahum dan munculnya kecenderungan umum untuk berbuat kerusakan dan pertumpahan darah yang diungkap dengan la tufsidu fi al-ardl wa la ta’tsau fi al-ardl. Teguran untuk memenuhi takaran dan timbangan yang ada dalam Al-Qur’an merupakan pengungkapan kembali motif-motif lima buku pertama dari kitab perjanjian lama (pentateuchal motifs), yang dikembangkan dalam literature kenabian seperti Leviticus 19: 35, 36, Deutoronomy 25: 13-16, dan bisa dibandingkan dengan Amos 8: 5 dan Micah 6: 11.
Dari sini kemudian Wansbrough menyimpulkan bahwa tradisi Syu’aib yang ada menunjukkan adanya celah bagi perkembangan sejarah, namun banyak fakta dari elaborasi sastera, yang tergambar dari tipe-tipe laporan kenabian yang telah dikenal secara luas dan mapan. Elaborasi sastera seperti inilah yang merupakan karakteristik kitab suci umat Islam, di mana sejumlah tema kecil dipertahankan dalam berbagai stase capaian kesusasteraan.
[20]
Sementara itu Wansbrough juga mengemukakan contoh tentang tema jannatan (dua surga) yang menurutnya terdiri dari dua versi yang berbeda, di mana versi yang pertama terdapat dalam QS. 55: 46-61 dan versi kedua terdapat dalam QS. 55: 62-77. Dengan menunjuk apa yang dikatakan oleh al-Zamakhsyary dalam al-Kasysyaf, Wansbrough memandang bahwa kedua versi jannatan yang ada dalam Al-Qur’an tersebut telah lama diperdebatkan di kalangan ahli tafsir. Apa yang digambarkan oleh al-Zamakhsyary bahwa gambaran versi kedua kurang bagus ketimbang versi pertama, bagi Wansbrough, tentu saja berimplikasi pada penerimaan tatanan kanonik kedua versi tersebut. Namun fakta yang sama juga dapat dijadikan argumentasi bahwa versi pertama merupakan elaborasi dari versi kedua, di mana keduanya dengan instrumen retorik dan tambahan tafsir. Adalah hal yang sulit ditentukan apakah elaborasi atau perindahan tersebut ditujukan untuk fungsi liturgis atau semata-mata hanya bersifat literer. Namun dugaan yang paling kuat dalam hal ini, demikian Wansbrough mengatakan, adalah terjadi penjejeran (juxtaposition) dalam teks Al-Qur’an dua tradisi berbeda yang bertalian erat, yang terkontaminasikan oleh bacaan dalam konteks-konteks yang identik, atau dihasilkan dari tradisi-tradisi tunggal lewat transmisi lisan (oral transmission). [21]
Wansbrough juga mempermasalahkan ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menurutnya merupakan hasil elaborasi atas dialog antara Ja’far bin Abi Thalib dengan penguasa Najasyi (Ethiopia). Hasil elaborasi tersebut, demikian Wansbrough mengatakan, secara serampangan kemudian dimasukkan ke dalam redaksi final Al-Qur’an.
Menurut Wansbrough, hubungan pasti antara dialog ringkas yang digambarkan dalam sirah Nabi dengan teks wahyu tidaklah jelas betul. Penerimaan historisitas dialog antara Ja’far bin Abi Thalib dengan penguasa Najasyi seharusnya memberi petunjuk atas dugaan bahwa perintah-perintah yang diekspresikan dalam sirah tersebut telah menjadi subyek wahyu sebelum hijrah ke Ethiopia, atau perintah tersebut mempresentasikan logia kenabian yang kemudian dikonfirmasikan oleh—atau digabungkan dalam—teks Al-Qur’an. Di sisi lain, struktur laporan dialog tersebut memberi kesan adanya formula retorika secara hati-hati terhadap materi Al-Qur’an yang secara umum diduga diwahyukan setelah peristiwa tersebut.
Dari sini kemudian Wansbrough mengemukakan sebuah alternative hipotetis: Al-Qur’an merupakan hasil penjejeran (juxtaposition) tradisi-tradisi independent melalui sejumlah konvensi retorik. Alternatif tersebut dikemukakan untuk menjawab problem karakter pengulangan (repetitive character) dan keserbasamaan tema dan gaya bahasa (stylistic homogeneity) dalam teks resmi Al-Qur’an. Isi dari tradisi-tradisi independen mungkin bisa digambarkan sebagai logia kenabian yang formulasinya menunjuk pada sejumlah tipe sastera yang telah dikenal dan mapan, yang didasarkan pada skema wahyu. Dalam format teks resmi Al-Qur’an, logia-logia tersebut diekspresikan, tak selalu konsisten, sebagai ungkapan-ungkapan langsung dari Tuhan.
[22]
Wansbrough juga mengatakan bahwa banyak sekali tradisi tafsir ikut dimasukkan ke dalam Al-Qur’an. Contoh ayat Al-Qur’an di mana tradisi tafsir ikut dimasukkan di dalamnya adalah QS. 17: 1, yaitu subhan al-ladzi asra bi abdihi lailan min al-masjid al-haram ila al-masjid al-aqsha al-ladzi barakna haulahu linuriyahu min ayatina. Kata abd pada ayat tersebut, yang bisa jadi maksudnya adalah Muhammad, secara tidak langsung menunjukkan pada ketundukan pada penafsiran terhadap data-data Al-Qur’an yang menurut Wansbrough, belum semuanya ditunjukkan. Jauh sebelum Muhammad, ungkapan asra bi abdihi lailan telah lama dipakai, hanya untuk menggambarkan kepergian Musa dari Mesir. Hal ini tampak pada QS. 20: 77, QS. 26: 52 dan 44: 23. Sedangkan kata lailan bisa jadi merefleksikan tamsil eksodus sebagaimana terdapat dalam QS. 12: 29-34. Di samping itu, pemakaian formula subhan al-ladzi sangat mungkin merupakan ungkapan asal pemujaan dan telah lazim digunakan. Dengan mengabaikan “perjalanan dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha” maka kata abd pada ayat tersebut akan mengidentifikasi Musa sebagaimana terdapat pada ayat berikutnya. Di samping itu, QS.17: 1 yang hanya menampilkan isra’--dan bukan mi’raj--tentu saja berkaitan dengan tradisi-tradisi tafsir. Dalam sinaran formula kenabian Islam, hubungan tersebut, menurut Wansbrough, digambarkan secara serampangan dan kebetulan. Hal ini, lanjut Wansbrough, menggambarkan adanya motif-motif campuran (mixture of motifs). Perjalanan Muhammad dengan mengendarai makhluk spiritual adalah sebuah motif, dan ini tidak lazim dalam literature ekspresi kenabian.[23]
Perubahan sajian ayat, dari yang semestinya bercerita tentang eksodus Musa menjadi perjalanan Muhammad, hanya bisa efektif dengan memberikan tambahan ungkapan min al-Masjid al-Haram ila al-Masjid al-Aqsha. Penambahan tersebut bisa jadi adalah penjelasan tafsir yang didesain untuk mengakomodir episode mi’raj Muhammad dalam teks Al-Qur’an. Ungkapan tentang mimpi yang ada dalam QS. 17: 60 (wa ma ja’alna al-ru’ya al-lati arainaka illa fitnah li al-nas) dan “kenaikan” dalam QS. 17: 93 (au tarqa fi al-sama’) nampak sangat relevan dengan isi QS. 17: 1. Keduanya merupakan polemik dan hipotesis yang lebih kemudian, sebagaimana ungkapan “kenaikan” yang ada dalam QS. 6: 35 dan QS. 15: 14. Dalam tradisi tafsir, Masjid al-Haram diidentifikasi sebagai Ka’bah di Makkah dan Masjid al-Aqsha di Yerusalem. Hubungan “kenaikan” dan “perjalanan malam” yang ada dalam QS. 17: 1 akan nampak ke permukaan untuk mensupport identifikasi Masjid al-Aqsha dengan surga. Perjalanan spiritual yang ada dapat dilihat pada statemen yang disandarkan kepada Abdullah ibn Abbas, bahwa ruh Muhammadlah yang mengadakan perjalanan dari tempat yang tidak secara khusus digambarkan sebagai masjid yang suci, melainkan lebih umum digambarkan sebagai tempat yang suci (haram). Namun adanya sebuah tendensi dalam arah yang berlawanan—yaitu untuk mengisi point sebuah perjalanan di Ka’bah (Makkah) dan Masjid al-Aqsha (Yerusalem)–membuktikan adanya kepentingan-kepentingan politik yang signifikan dalam Islam dan secara incidental digunakan untuk memberikan penafsiran terhadap QS. 17: 1. Maka, demikian Wansbrough menyimpulkan, kaitan antara wahyu dengan periode evangelium bagaimanapun juga tidak bisa diabaikan begitu saja. [24]
Sebagai konsekuensi pemikiran bahwa Al-Qur’an merupakan penjejeran (juxtaposition) tradisi-tradisi umat Islam periode awal yang redaksi finalnya baru definitive pada abad ke-3 H, Wansbrough menafikan kisah kodifikasi Al-Qur’an yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar maupun Utsman. Kesimpulan tersebut didasarkan pada studi Schacht yang menyatakan bahwa yurisprudensi Islam, dengan sedikit pengecualian, tidaklah diambil dari isi Al-Qur’an. Hal yang mungkin bisa dikemukakan adalah bahwa sedikit pengecualian tersebut bisa jadi bukti adanya teks resmi Al-Qur’an. Di samping itu, pengambilan hukum dari Al-Qur’an (halakhic exegesis) sendiri merupakan fenomena abad ke-3 H/9 M. Bukti negatif yang bisa dikemukakan adalah tidak adanya referensi Al-Qur’an dalam Fiqh Akbar I yang oleh Wensink didata sebagai produk abad ke-2 H/8 M. Lagi pula, stabilisasi teks kitab suci (masoretic exegesis) merupakan sebuah aktifitas yang ekspresi sasteranya tidak ditemukan sebelum abad ke-3 H /9 M. Tentu tidak mungkin, juga tidak perlu, untuk tetap berpegang pada satu asumsi bahwa materi canon, dalam berbagai bentuknya, tidak eksis sebelum periode aktifitas sastera sedemikian intensif tersebut, tetapi pemapanan (establishment) teks standard yang dinyatakan secara tidak langsung oleh tradisi resensi Utsmani bisa jadi lebih kemudian.[25] Karena itu, Wansbrough menduga bahwa kanonisasi dan stabilisasi teks Al-Qur’an terjadi bersamaan dengan pembentukan komunitas umat Islam.[26] Teks kitab suci, demikian Wansbrough menyimpulkan, tidak ada dan belum mungkin ada secara keseluruhan sebelum kekuasaan politik terkendali secara kokoh. Maka abad ke-2 H/8 M menjadi moment histories untuk mengumpulkan secara bersama-sama tradisi-tradisi oral dan unsur-unsur liturgy sehingga lahir kanon kitab suci Al-Qur’an yang final dan muncul konsep aktual umat Islam.[27] Masa ini, dalam pandangan Wansbrough, bersamaan dengan munculnya sastera Arab tertulis. Dalam hal ini Wansbrough menyatakan adanya kemungkinan kesamaan dengan model Yahudi berkaitan dengan cerita tentang sebuah otoritas teks yang diproduk dalam sebuah kepanitiaan yang bernama tradisi Jamnia yang berupaya menuju kanonisasi teks kitab suci Yahudi (canonization of Hebrew scripture).[28]
Bagi Wansbrough, kesimpulan bahwa tadwin Al-Qur’an pada masa pemerintahan Abu Bakar dan Utsman sebagai kisah fiktif adalah kesimpulan yang tidak bisa dihindari. Hal ini berangkat dari satu pemikiran bahwa materi-materi sebagai pembentuk teks Al-Qur’an, kronologi materi-materi yang tersusun dalam teks, sejarah teks, varian bacaan dan hubungan antara Al-Qur’an dengan literatur-literatur sebelumnya belum sepenuhnya diteliti. Kajian-kajian yang telah ada telah bersepakat tanpa protes terhadap data normatif yang berasal dari tradisi-tradisi.[29] Lebih jauh lagi, Wansbrough menandaskan bahwa semua korpus dokumentasi Islam masa awal yang berbicara sekitar kisah tersebut merupakan sejarah penyelamatan (salvation history).[30] Argumentasi yang dipergunakan Wansbrough adalah bahwa kita tidak tahu dan tidak mungkin pernah dapat mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Semua yang kita ketahui sekarang adalah apa yang dipercaya telah terjadi oleh orang-orang yang datang kemudian.[31]

John Wansbrough dan Wacana Studi Al-Qur’an
Tesis yang dikemukakan Wansbrough banyak mengundang perdebatan di kalangan para sarjana yang memiliki otoritas dalam studi Al-Qur’an, baik dari kalangan orientalis sendiri maupun sarjana muslim. Adalah Fazlur Rahman, tokoh neo-modernis Islam kelahiran Pakistan yang menjadi mahaguru kajian Islam pada Departement of Near Eastern Language and Civilazation, Chicago University yang memberikan kritik pada Wansbrough mengenai tesisnya bahwa tradisi “pemilihan” dan tradisi “yang tersisa” dalam Yahudi mempengaruhi penyusunan redaksi final Al-Qur’an. Rahman memandang bahwa tesis Wansbrough tersebut tidaklah tepat. Karena terma baqiyah, baqiyyah dan baqiyun tidak bisa dijadikan bukti atas tesis Wansbrough tersebut. Terma terakhir, yaitu baqiyun, bahkan tidak pernah ditemukan dalam Al-Qur’an di samping memang tidak tepat secara gramatikal, karena yang benar adalah baqun. Terma-terma tersebut akan nampak absurd dan tidak tepat bila diartikan sebagai yang tersisa, melainkan lebih tepat bila diartikan sebagai orang-orang yang memiliki kebajikan. Doktrin yang tersisa, dalam pandangan Rahman, ditepis oleh Al-Qur’an ketika mengatakan pada umat Islam bahwa jika mereka tidak mau berjuang di jalan Allah maka Allah akan mengangkat kaum yang lain untuk menggantikan mereka, karena umat Islam bukanlah umat yang harus ada dalam rencanaNya.
[32] Rahman juga menepis anggapan Wansbrough bahwa doktrin “pemilihan” Yahudi mempengaruhi formasi Al-Qur’an. Bagi Rahman, pemilihan atau pengangkatan Tuhan terhadap seorang manusia atau sebuah bangsa dapat terjadi secara alamiah, bahkan Al-Qur’an pun menyatakan demikian. “Pemilihan” dan ”pengangkatan” dalam Al-Qur’an adalah ungkapan-ungkapan lain untuk proses yang terjadi secara alamiah, seperti dalam QS. 2: 124, QS. 6: 124, QS. 43: 32 dan QS. 6: 83-87.[33]
Rahman juga mengkritik tesis Wansbrough bahwa Al-Qur’an merupakan perpaduan berbagai tradisi yang berbeda. Rahman menilai bahwa Wansbrough belum sepenuhnya memahami fenomena substitusi ayat-ayat tertentu dengan ayat-ayat lainnya. Fenomena ini diakui sendiri oleh Al-Qur’an dan dinamakan naskh yang berarti substitusi atau penghapusan. Untuk menjadi substitusi harus ada ayat baru sebagai pengganti ayat yang lama. Inilah sebuah keharusan kronologis yang sulit dipertahankan bila Al-Qur’an hanya merupakan perpaduan serentak dari berbagai tradisi.[34] Rahman juga menilai bahwa Wansbrough kurang memiliki data-data histories mengenai asal-usul, sifat atau karakter, evaluasi dan person-person yang terlibat dalam apa yang dia sebut sebagai tradisi-tradisi tersebut. Sejumlah persoalan penting dalam Al-Qur’an, menurut Rahman, hanya dapat dipahami dalam terma-terma kronologis yang terbentang dalam suatu dokumen yang tunggal.[35] Al-Qur’an tidak dapat dipahami sebagai sebuah perpaduan unsur-unsur yang berbeda dan bertentangan. Dengan demikian, tesis Wansbrough yang didasarkan pada adanya repetisi dan duplikasi dalam Al-Qur’an tidaklah tepat, karena hal tersebut lebih mencerminkan perkembangan tema atau misi kenabian Muhammad dalam tahapan-tahapan kronologisnya. [36]
Rahman juga mengkritik analisis Wansbrough tentang kisah Syu’aib dalam Al-Qur’an tersebut pada beberapa titik krusial. Pertama, Wansbrough tidak memberikan penjelasan apapun tentang mengapa ketiga versi kisah Syu’aib tersebut dianggap sebagai tradisi yang berbeda. Kedua, dalam keseluruhan paparannya, Wansbrough tidak mengemukakan indikasi tentang siapa yang mengumpulkan tradisi-tradisi tersebut dalam kanon. Ketiga, pernyataan Wansbrough bahwa Muhammad dan para pengikutnya sedemikian akrab dengan kitab suci Yahudi dan Nasrani ditepis sendiri oleh Al-Qur’an dalam QS. 29: 48. Bagi Rahman, tujuan Wansbrough dengan mengemukakan tesis tersebut adalah memalingkan umat Islam pada titik balik, tetapi tanpa bukti ataupun sesuatu yang mirip dengan bukti: suatu revolusi tanpa basis, instrument atau substansi apapun. Entitas latar belakang ke-Arab-an yang mengiringi turunnya Al-Qur’an ditolak dan diganti dengan sebuah latar belakang Yahudi, dengan bukti yang jauh dari meyakinkan. Keempat, pengetahuan Wansbrough tentang wahyu Al-Qur’an sangat meragukan dan, karenanya, banyak sekali terjadi distorsi dalam pemikiran-pemikirannya tersebut.[37] Rahman juga mengkritik pandangan Wansbrough yang menyatakan bahwa dialog Ja’far bin Abi Thalib dengan penguasa Najasyi dimasukkan begitu saja dalam Al-Qur’an sebagai tidak konsisten. Penolakan Wansbrough terhadap sumber-sumber kesejarahan umat Islam yang awal nampak tidak menghalanginya untuk menerima sepenuhnya historisitas kisah Ja’far bin Abi Thalib tersebut.
Sementara itu Taufik Adnan Amal, intelektual muslim alumnus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menilai bahwa tesis Wansbrough tidak mendapatkan justifikasi dari perkembangan sektarianisme Islam itu sendiri, terutama Syi’ah dan Sunny. Kalau dua sekte dalam Islam tersebut masing-masing mengembangkan system transmisi yang independent dan berbeda, maka setidaknya ada dua redaksi final Al-Qur’an yang berbeda. Padahal dalam kenyataannya Al-Qur’an yang dipergunakan oleh kedua sekte tersebut sama, bahkan dalam ayat-ayat duplikasi atau pun repetisi yang identik.
[38] Dari sini Taufik menyimpulkan bahwa teori pengumpulan dan pembukuan Al-Qur’an pada masa pemerintahan Abu Bakar dan Utsman lebih bisa diterima ketimbang teori yang dikemukakan Wansbrough. Teori tersebut lebih bisa menjelaskan problem mengapa tidak terdapat perbedaan redaksi Al-Qur’an yang dipergunakan oleh sekte-sekte yang berbeda dalam Islam.[39]
Sementara itu Andrew Rippin, atas dasar pemikiran bahwa Islam adalah agama dalam sejarah, membenarkan penggunaan analisis sastera oleh Wansbrough dalam mengkritisi Al-Qur’an, sebagaimana juga dipergunakan dalam mengkritisi kitab suci Yahudi dan Nasrani. Hal ini karena sangat sedikit bahan-bahan yang tersedia yang dapat memberikan kesaksian netral untuk mengkaji Islam masa awal, baik kuantitas arkeologi, bukti numismatic, bahkan juga dokumen-dokumen yang sangat dibutuhkan dalam hal ini. Sumber-sumber berupa teks berbahasa Arab dari kalangan muslim sendiri, lanjut Rippin, terdiri dari literatur-literatur yang ditulis dua abad setelah fakta sejarah terjadi.[40]
Apa yang dikemukakan Wansbrough berkaitan dengan sumber-sumber Islam masa awal, menurut Rippin, bukanlah hal yang baru. Menurutnya, Ignaz Goldziher dan Yosepht Schacht telah lebih dulu menyatakan demikian. Keduanya memahami bahwa sabda-sabda yang disandarkan kepada Muhammad dan digunakan uintuk mendukung posisi hukum atau doktrin dalam Islam sebenarnya berasal dari periode kemudian, dari masa-masa ketika posisi hukum dan doktrin ini sedang mencari dukungan dari apa yang disebut sebagai sunnah.
[41]
Pembelaan Rippin yang menyatakan bahwa Wansbrough bukanlah orang pertama yang mempermasalahkan sumber-sumber data Islam yang awal ini dikritik oleh Rahman. Adalah benar bahwa Goldziher dan Schacht telah mendahului Wansbrough, tetapi keduanya mempelopori pendekatan ini dalam hubungannya dengan kritik hadits. Bagi Rahman, Goldziher dan Schacht bersandar pada metode sejarah untuk menunjukkan bahwa hadits-hadits tertentu muncul setelah hadits lainnya. Karenanya, lanjut Rahman, tidak jelas logika apa yang dipakai oleh Rippin untuk menawarkan metode sejarah Goldziher dan Schacht utnuk mendukung analisis sastera Wansbrough, karena metode ysng terakhir bersifat arbitrer.[42]
Bagi Rahman, dengan melepaskan Al-Qur’an dari sandaran historisnya dalam kehidupan Muhammad maka salah satu tugas utama Wansbrough adalah meletakkannya secara histories di tempat yang lain. Karena keharusan relokasi histories tidak bisa dikesampingkan oleh penolakan sederhana terhadap historisitas sumber-sumber awal Islam itu sendiri. Harus diketahui di mana Al-Qur’an berada dan pada kelompok atau individu mana Al-Qur’an diturunkan. Di sini nampak bahwa gagasan yang menolak sejarah tradisional tanpa perdebatan lebih jauh adalah untuk melepaskan diri dari semua tanggung jawab historis.
[43]
Ketika sampai pada muatan prinsip analisis sastera, Rahman mempertanyakan atas dasar apa Wansbrough memilih empat topik: pembalasan (retribution), tanda (sign), pengasingan (exile) dan perjanjian (covenant) sebagai hal yang sangat penting dalam Al-Qur’an? Ketika Al-Qur’an merupakan hasil konspirasi yang diklaim Wansbrough tidak membumi, maka Wansbrough harus menjelaskan mengapa empat tema yang sedemikian penting dalam analisisnya tersebut tidak mendapatkan tempat yang layak dalam Islam. Bila seorang muslim ditanya tentang ajaran-ajaran Islam yang paling menonjol, bisa dipastikan bahwa jawabannya adalah monotheisme, shalat, zakat, puasa dan haji. Kalau tesis Wansbrough tentang adanya konspirasi dalam penyusunan Al-Qur’an tersebut diterima, paling tidak Wansbrough harus menjelaskan lebih dari satu konspirasi. Pertama, konspirasi umat Islam untuk menyembunyikan asal-usul Al-Qur’an dan menyandarkannya pada wahyu kenabian. Kedua, konspirasi untuk mengesampingkan pentingnya empat tema yang diajukan Wansbrough dan menggantikannya dengan apa yang umat Islam menyebutnya sebagai rukun Islam.[44]
Dalam hal ini, berkaitan dengan lontaran Wansbrough yang mempermasalahkan bahwa tradisi tafsir ikut masuk dalam QS. 17: 1, penulis ingin memberikan catatan bahwa Wansbrough bukan orang yang pertama yang mempermasalahkan ayat tersebut. Adalah Gustave Weil yang pertama kali meragukan otentisitas ayat Al-Qur’an yang menceritakan tentang perjalanan malam Muhammad ke Yerusalem. Weil, sebagaimana dirujuk oleh Taufik Adnan Amal, mengatakan bahwa tidak ada rujukan lain dalam Al-Qur’an yang mendukung kisah perjalanan malam Muhammad tersebut, bahkan ayat berikutnya tidak menunjukkan adanya indikasi jalinan dengan ayat tersebut. Di samping itu, ayat tersebut bertentangan dengan klaim umum kenabian Muhammad bahwa dia hanya sekedar seorang utusan, bukan pembuat mukjizat.[45] Satu hal yang tidak dipahami oleh Weil, dan Wansbrough tentunya, adalah benar bahwa Al-Qur’an memerintahkan Muhammad untuk mengatakan bahwa dirinya hanya manusia biasa sebagaimana manusia yang lain,[46] namun itu bukan berarti bahwa Al-Qur’an menafikan peristiwa-peristiwa adikodrati yang terjadi pada diri Muhammad dan para nabi sebelumnya. Kemungkinan-kemungkinan akan kejadian-kejadian adikodrati jelas diakui sendiri oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri menceritakan bagaimana peristiwa-peristiwa adikodrati yang terjadi berkaitan dengan pengutusan para nabi terdahulu tidak meyakinkan umatnya. Bahkan peristiwa-peristiwa adikodrati tersebut dianggap oleh para umat nabi sebelumnya sebagai datang dari sihir. Hal ini nampak jelas dalam QS. 6: 111, QS. 17: 60 dan QS. 27: 13. Di sini bisa dipahami mengapa kemudian Al-Qur’an memerintahkan Muhammad untuk membuat pengakuan bahwa dirinya hanyalah seorang manusia biasa sebagaimana yang lain.
Di samping itu, tepat sekali apa yang dikatakan oleh W. Montgomery Watt bahwa seorang pembaca Al-Qur’an harus mempertimbangkan struktur legenda belakangan yang dibangun di atasnya. Dengan melepaskan struktur legenda yang berkaitan dengan suatu ayat, maka tidak ada sesuatu pun dalam ayat ini yang tidak berkesesuaian dengan klaim-klaim lainnya yang dikemukakan oleh Muhammad.
[47] Bahwa ayat tersebut tidak memiliki jalinan dengan ayat berikutnya tentu bukan argumentasi yang cukup kuat untuk mengatakan bahwa informasi yang disampaikan oleh ayat tersebut tidak benar, apalagi meragukan otentisitasnya. Hal ini karena dalam Al-Qur’an memang banyak sekali ditemukan adanya ketidakberjalinan antara ayat yang satu dengan ayat sebelum atau sesudahnya.
Ketidakberjalinan ayat yang satu dengan ayat sebelum atau sesudahnya tentu tidak bisa semata-mata hanya dipahami dalam konteks kesusasteraannya, melainkan juga dalam konteks keyakinan umat Islam yang menganggap bahwa tata urutan ayat dan surat dalam Al-Qur’an didasarkan pada tauqify, yaitu perintah penempatan tata urutan ayat dan surat dalam Al-Qur’an dari Muhammad kepada para sahabatnya.
[48]
Menurut penulis, kalau Al-Qur’an merupakan hasil konspirasi umat Islam periode awal sebagaimana dikemukakan Wansbrough, maka pertanyaan yang kemudian harus dijawab Wansbrough adalah apa yang menghalangi mereka untuk menyusunnya secara sistematis sehingga tidak ada lagi ayat yang tidak berjalin berkelindan dengan ayat sebelum atau sesudahnya. Kalau Al-Qur’an merupakan hasil sebuah proyek yang digarap secara kolektif, maka tampilan Al-Qur’an tentu tidak akan seperti yang terlihat sekarang ini. Aransemen Al-Qur’an tentu akan dibuat dalam tataran paling sistematis menurut ukuran kesusteraan di saat kapan proyek penyusunan Al-Qur’an tersebut terakhir dilaksanakan.
Adanya karakter pengulangan (repetitive character), keserbasamaan tema dan gaya bahasa (stylistic homogeneity) dan perubahan-perubahan gaya sastera dalam Al-Qur’an justeru lebih mampu memberi penjelasan tentang bagaimana ayat Al-Qur’an memberikan solusi atas problem yang dihadapi Muhammad dan umat Islam selama kurang lebih dua puluh dua tahun masa turunnya. Jangka waktu yang terentang sedemikian lama tersebut akan menghadirkan situasi yang dihadapi Muhammad dan para pengikutnya yang kadang-kadang sama, dan ini yang sering kali terjadi, berbeda dan berubah-ubah.
Menurut penulis, Wansbrough juga nampak tidak konsisten ketika memilih analisis sastera sebagai pendekatan dalam upaya membuktikan bahwa redaksi final Al-Qur’an sebagai tidak otentik. Bila Wansbrough, dan juga Rippin yang membelanya, mengatakan bahwa Islam sebagaimana Yahudi dan Nasrani adalah agama dalam sejarah, maka sulit untuk memahami, mengapa yang dia pergunakan adalah pendekatan sastera, bukannya pendekatan kesejarahan. Seberapa banyak data arkeologis, bukti numismatic atau dokumen-dokumen yang harus tersedia untuk tidak berpaling dari pendekatan kesejarahan adalah sebuah permasalahan yang tentative. Kalau dokumen-dokumen tertulis yang ada telah cukup untuk mengantarkan sarjana-sarjana lain, semacam Goldziher dan Schwally atau Schacht misalnya, untuk tetap berpegang pada kritik histories, kenapa tidak dengan Wansbrough?
Analisis sastera tentu bukannya tidak bisa dipergunakan dalam mengkritisi Al-Qur’an, namun menjadikannya sebagai satu-satunya pendekatan hanya akan mengantarkan seseorang pada kesimpulan yang spekulatif dan jauh dari meyakinkan. Pada titik inilah nampak bahwa Wansbrough tidak konsisten pada pijakan awalnya. Dan ketidakmampuan Wansbrough untuk menjelaskan tentang kapan, di mana dan siapa yang terlibat dalam proyek penyusunan Al-Qur’an adalah bukti bahwa sebuah pendekatan yang dipergunakan dan proses penggunaannya, sebagaimana dikatakan sendiri oleh Wansbrough, akan sangat berpengaruh pada temuan-temuan yang dihasilkannya.

[1]Hal ini ditegaskan sendiri oleh Al-Qur’an. Lihat misalnya QS. 15: 9, QS. 3: 3
[2]Paparan rinci tentang hal ini bisa dilihat pada Fazlur Rahman, Islam and Modenity:: Tranformation of an Intellectual tradition, The University of Chicago Press, Chicago, 1982, hal 5-6. Lihat juga Fazlur Rahman, Islam Modern: Tantangan Pembaharuan Islam. Terj. Hamid Basyaib dan Rusli Karim, Solahudin Press, Yogyakarta, 1987, hal. 48-49
[3]Lihat prolog buku W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, terj, Taufiq Adnan Amal, Rajawali, Jakarta, 1991, hal. XIII-XIV
[4]Ibid, hal. 109
[5]Richard C. Martin, “Structural Analysis and the Quran: Newer Approaches to The Study of Islamic Text” dalam Journal of The American Academy of Religion, Vol. XLII (1979). No., 666
[6]Penilaian tersebut nampak dalam formulasi sastera Arab yang mencontohkan perubahan dlomir “Aku” atau “Dia” untuk menunjukkan kata ganti Allah. Dalam ilmu Badi’ gaya sastera demikian disebut dengan badi’ al-iltifat.
[7]Lihat Mushthafa Shadiq al-Rafi’I, I’jaz Al-Qur’an wa al-Balaghoh al-Nabawiyah, Dar al-Kitab al-Araby, Beirut, 1990, hal. 147
[8]Ibid, hal. 145
[9]Tidak semua sarjana non muslim memberikan penilaian negatif tentang sastera Al-Qur’an. Banyak di antara mereka yang memberikan analisis obyektif, seperti Geyer dan DH. Muller. Lihat W. Mongommery Watt, Op.Cit, hal. 114-115
[10]Lihat Alford T. Walch, “Al-Qur’an” dalam The Encyclopedia of Islam, Second Edition, Vol.5, hal. 405
[11]John Wansbrough, Qur’anic Studies: Sources and Methods of Sciptural Interpretation, Oxford University Press, Oxford, 1977, hal. 2
[12]Ibid, hal. 4
[13]Ibid, hal. 5-6
[14]Ibid, hal. 8
[15]Ibid, hal. 9
[16]Ibid, hal. 10. Wansbrough juga menandaskan bahwa di antara bukti bahwa Bibel dan Taurat menjadi sumber referensi Al-Qur’an adalah kisah Yusuf dan saudara-saudaranya yang ada dalam QS. 12: 59, yang paralel dengan apa yang ada dalam Genesis 42: 3-13. Ibid, hal. 134
[17]Ibid, hal. 23-24
[18]Ibid, hal. 24
[19]Ibid
[20]Ibid, hal. 25
[21]Ibid, hal. 26-27
[22]Ibid, hal. 47
[23]Ibid, hal. 68
[24]Ibid, hal. 68-69
[25]Ibid, hal. 44
[26]Ibid, hal. 51
[27]Ibid, hal. 49. Wansbrough juga menegaskan hal ini dalam The Sectarian milieu: content and composition Of Islamic salvation History sebagaimana dikutip oleh Andrew Rippin, “Analisis Sastera Terhadap Al-Qur’an, Tafsir dan Sirah: Metodologi John Wansbrough”, dalam Richard C. Martin (ed), Pendekatan Kajian Islam Dalam Studi Agama, terj. Zakiyyudin Baidlawy, Muhammadiyyah University Press, Surakarta, 2001, hal. 214
[28]John Wansbrough, Op. Cit, hal. 45-46
[29]Andrew Rippin, Op. Cit, hal. 210
[30]Ibid, hal. 206
[31]Ibid, hal. 208-209
[32]Lihat Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, Bibliotheca Islamica, Chicago, 1980, hal. 55
[33]Ibid, hal. 56
[34]Ibid, hal. xiii
[35]Ibid
[36]Ibid
[37]Lihat Fazlur Rahman, ‘Some Recent Books on the Qur’an by Western Authors’ dalam The Journal of Religion, Vol. 64 Tahun 1984, hal. 86
[38]Lihat Taufik Adnan Amal, “Al-Qur’an di Mata Barat: Kajian Baru John Wansbrough”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. I tahun 1990, hal. 45
[39]Ibid
[40]Andrew Rippin, Op. Cit, hal. 201-202
[41]Ibid, hal. 207-208
[42]Fazlur Rahman, “Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi Agama”, dalam Richard C. Martin (ed), Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, terj Zakiyyudin Baidlawy, Muhammadiyyah University Press, Surakarta, 2001, hal. 261
[43]Ibid, hal. 263
[44]Ibid, hal. 263-264
[45]Lihat Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, FKBA, Yogyakarta, 2001, hal. 249
[46]Lihat, misalnya QS. 41: 6 dan QS. 18: 110
[47]Lihat W. Montgomery Watt, Op. Cit, hal. 80
[48]Lihat misalnya Abd al-Azhim al-Zarkasy, Manahil al-Irfan fi Ulum Al-Qur’an, Juz I, Mushthafa al-Baby al-Halaby, Kairo, hal. 346-347

Jumat, 28 September 2007

MEDIASI DALAM PERATURAN-PERUNDANGAN DI INDONESIA


A. Pendahuluan
Mediasi, yang didefinisikan oleh Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tahun 2003 sebagai penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator
[1], merupakan salah satu instrument efektif penyelesaian sengketa non-litigasi yang memiliki banyak keuntungan. Keuntungan menggunakan jalur mediasi antara lain adalah bahwa sengketa dapat diselesaikan dengan prinsip win-win solution, waktu yang digunakan tidak berkepanjangan, biaya lebih ringan, tetap terpeliharanya hubungan antara dua orang yang bersengketa dan terhindarkannya persoalan mereka dari publikasi yang berlebihan. Pengakuan akan keuntungan menggunakan jalur mediasi sebagai penyelesaian sengketa non-litigasi ini dapat dilihat dalam konsideran diterbitkannya Perma No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediaisi di Pengadilan.
Mediasi tidak hanya bermanfaat bagi para pihak yang bersengketa, melainkan juga memberikan beberapa manfaat bagi dunia peradilan. Pertama, mediasi mengurangi kemungkinan menumpuknya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan. Banyaknya penyelesaian perkara melalui mediasi, dengan sendirinya, akan megurangi penumpukan perkara di pengadilan. Kedua, sedikitnya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan akan memudahkan pengawasan apabila terjadi kelambatan atau kesengajaan untuk melambatkan pemeriksaan suatu perkara untuk suatu tujuan tertentu yang tidak terpuji. Ketiga, sedikitnya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan tersebut juga akan membuat pemeriksaan perkara di pengadilan berjalan cepat.
[2]
Meski banyak memiliki kelebihan dan keuntungan, mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidaklah diatur secara memadai dalam peraturan-perundangan. Dalam UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, mediasi tidak dijelaskan secara berimbang dan proporsional. Dalam Undang-undang ini, lembaga arbitrase diatur dan dijelaskan secara detail dalam 80 (delapan puluh) pasal, sedangkan alternative penyelesaian sengketa, termasuk mediasi di antaranya, hanya disebut dalam dua pasal saja, yaitu pasal 1, butir (10) dan pasal 6 yang terdiri dari 9 ayat. Selebihnya hanya diatur secara garis besar dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Tulisan ini akan mengupas beberapa hal penting mengenai mediasi yang “sempat” diatur oleh peraturan-perundangan yang ada, yaitu prinsip mediasi, criteria mediator, prosedur mediasi dan beberapa catatan penulis mengenai regulasi mediasi di Indonesia.

B. Prinsip Mediasi
Peraturan-perundangan yang ada tidak secara detail menjelaskan prinsip-prinsip dasar dilaksanakannya mediasi. Peraturan-perundangan tersebut hanya menjelaskan beberapa prinsip mediasi. Pertama, kerahasiaan (confidentiality), yang berarti bahwa proses pelaksanaan mediasi berlangsung secara rahasia. Prinsip kerahasiaan proses mediasi dapat dilihat dalam pasal 6 ayat (6) UU No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa dengan melalui jalur mediasi memegang teguh kerahasiaan. Di samping itu, prinsip kerahasiaan ini juga dapat dilihat dalam Perma No. 02/2003 Pasal 14 ayat (1) yang secara tegas menyatakan bahwa proses mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untuk umum, kecuali para pihak yang bersengketa menghendaki lain. Namun, prinsip kerahasiaan proses mediasi tersebut juga memiliki pengecualian. Pengecualian tersebut dapat dilihat dalam pasal 1 butir 9 juncto pasal 14 ayat (2) yang menyatakan bahwa proses mediasi untuk sengketa public, yaitu sengketa-sengketa lingkungan hidup, hak asasi manusia, perlindungan konsumen, pertanahan dan perburuhan bersifat terbuka untuk umum. Kedua, pemberdayaan para pihak (individual empowerment), yang berarti bahwa dalam proses mediasi para pihak yang bersengketa didorong untuk sedapat mungkin menemukan sendiri solusi terbaik permasalahan mereka. Pasal 9 ayat (4) Perma No. 02 Tahun 2003—yang menjelaskan bahwa mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak—secara tidak langsung menjelaskan adanya prinsip pemberdayaan ini.
Ketiga, netralitas atau ketidakberpihakan (impartiality) sebagai salah satu prinsip terpenting dalam mediasi. Prinsip netralitas dan ketidakberpihakan dalam mediasi ini hanya dijelaskan secara tidak langsung dalam pasal 1 butir (5) yang menjelaskan bahwa mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian perkara. Artinya, seorang mediator sebagai pihak ketiga yang merancang dan memimpin jalannya proses mediasi harus bersikap netral dan tidak memihak. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang mediator tidak diperkenankan untuk berpihak--atau mengemukakan pertanyaan, berpendapat atau berperilaku yang bisa ditafsirkan sebagai pemihakan—kepada salah satu dari pihak yang bersengketa.
Namun, peraturan-perundangan yang ada tidak secara jelas menjelaskan prinsip kesukarelaan (voluntary), yang berarti bahwa para pihak datang ke dalam proses mediasi dengan sukarela. Pasal 2 Perma No. 02 Tahun 2003-- yang menjelaskan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator—sama sekali tidak mencerminkan adanya prinsip kesukarelaan ini.
Peraturan perundangan yang ada juga tidak secara gamblang menjelaskan prinsip lain yang membedakan antara mediasi dengan penyelesaian sengketa di pengadilan. Peraturan-perundangan tersebut tidak menjelaskan tentang, misalnya, prinsip mediasi yang dalam proses pelaksanaannya tidak mengedepankan pembuktian materiil karena memang tidak untuk memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak lainnya. Tidak dijelaskannya secara detail prinsip-prinsip mediasi ini tentu menjadi catatan penting bagi peraturan-perundangan yang ada.

C. Kriteria Mediator
Baik UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa maupun Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan sama sekali tidak menyebutkan criteria yang harus dipenuhi untuk menjadi mediator. Meski untuk garapan mediasi yang sangat spesifik, yakni mediasi untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup, kriteria mediator bisa dilihat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2000. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa untuk menjadi mediator lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan maka seseorang harus memenuhi beberapa persyaratan pokok. Pertama, dia harus cakap melakukan tindakan hokum. Kedua, berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun. Ketiga, memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidang lingkungan hidup paling sedikit 5 (lima) tahun. Keempat, tidak ada keberatan dari masyarakat (setelah diumumkan dalam jangka waktu satu bulan). Kelima, memiliki keterampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan.
[3] Keenam, dengan merujuk pada Perma No. 02 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 11, memiliki sertifikat mediator, yaitu dokumen yang menyatakan bahwa dia telah mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Mahkamah Agung.
Di samping itu, seorang calon mediator juga harus memenuhi persyaratan tambahan, yaitu disetujui oleh para pihak yang bersengketa, tidak memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa, tidak mempunyai hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa, tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak yang bersengketa dan tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya.
[4]
Meski hanya secara spesifik mengatur kriteria mediator untuk sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, kriteria mediator yang dikemukakan oleh PP No. 54 Tahun 2000 tersebut nampaknya sebagian dapat menjadi acuan bagi pengaturan kriteria mediator dalam sengketa non lingkungan hidup, sementara sebagian yang lain layak untuk dikritisi. Di antara yang layak untuk dikritisi adalah persyaratan pokok bahwa seorang mediator harus memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidang spesifik yang disengketakan paling sedikit 5 (lima) tahun. Penentuan criteria tersebut tentu terlalu berlebihan karena peran mediator bukanlah untuk mencari solusi atas persoalan yang disengketakan, melainkan untuk memberdayakan pihak-pihak yang bersengketa guna mencari solusi atas persoalan mereka sendiri. Solusi tentu bukanlah berasal dari mediator, melainkan dari para pihak yang bersengketa itu sendiri. Karenanya, seorang mediator tidak harus mengetahui, apalagi menguasai, secara detail bidang persoalan yang disengketakan.
Persyaratan pokok lainnya yang layak untuk dikritisi adalah penentuan umur minimal 30 (tigapuluh) tahun. Pertanyaan yang seringkali dimunculkan adalah mengapa seorang mediator minimal harus 30 (tiga puluh) tahun? Mengapa, misalnya, bukan 25 (dua puluh lima) atau 20 (dua puluh) tahun? Maksud penentuan umur minimal tersebut tentu tidak lain adalah bagaimana menampilkan seorang mediator yang memiliki kematangan intelektual (intellectual maturity), kedewaan berpikir dan keluasan wawasan. Kalau demikian halnya, masih perlukah penentuan batas minimal seorang mediator?

D. Prosedur Mediasi
Meski lebih fleksibel ketimbang penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi, mediasi juga memiliki prosedur-prosedur baku. Prosedur mediasi, sebagaimana dinyatakan oleh Perma No. 02 Tahun 2003 pasal 1 (item 8), adalah tahapan proses pelaksanaan mediasi sebagaimana diatur dalam Perma tersebut. Prosedur mediasi tersebut, sebagaimana disebutkan dalam pasal 7 Perma yang sama, harus diikuti oleh mediator dan para pihak yang bersengketa.
Perma No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan membagi prosedur mediasi menjadi dua tahap, yaitu tahap pramediasi dan tahapan mediasi.

Tahap Pramediasi
Pasal 3 Perma No. 02 Tahun 2003 menyatakan bahwa pada hari sidang pertama di pengadilan yang dihadiri oleh kedua belah pihak yang berperkara, hakim mewajibkan kedua belah pihak tersebut untuk terlebih dahulu menempuh jalur mediasi dengan menunda proses persidangan. Dalam hal ini hakim wajib memberikan penjelasan kepada dua pihak tersebut mengenai prosedur mediasi
Selanjutnya pasal 4 Perma yang sama menyatakan bahwa paling lama satu hari kerja setelah siding pertama, para pihak yang bersengketa wajib berunding guna memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan atau mediator di luar daftar pengadilan. Bila dalam waktu satu hari tersebut kedua belah pihak belum dapat bersepakat tentang penggunaan mediator di dalam atau luar pengadilan, mereka wajib memilih mediator dari daftar mediator yang disediakan oleh pengadilan tingkat pertama. Bila dalam waktu satu hari kerja kedua belah pihak belum dapat memilih mediator dari daftar yang disediakan oleh pengadilan, ketua majlis berwenang untuk menunjuk seorang mediator dari daftar mediator dengan penetapan. Dalam hal ini, hakim yang memeriksa suatu perkara —baik sebagai ketua ataupun anggota majlis—dilarang untuk bertindak sebagai mediator bagi pelaksanaan mediasi perkara tersebut.
Selanjutnya dalam pasal 5 Perma yang sama mengatur bahwa proses mediasi yang menggunakan mediator di luar daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan berlangsung selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari kerja. Setelah jangka waktu tersebut, para pihak yang bersengketa wajib menghadap kembali pada hakim pada sidang yang ditentukan. Dalam hal pelaksanaan mediasi mereka mencapai kesepakatan, mereka dapat meminta penetapan dengan suatu akta perdamaian. Bila kesepakatan tersebut tidak dimintakan penetapannya dalamsebuah akta perdamaian maka pihak penggugat wajib menyatakan pencabutan gugatannya.

Tahap Mediasi
Pada tahap mediasi, pasal 8 Perma tersebut menjelaskan bahwa dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja setelah pemilihan atau penunjukan mediator, para pihak wajib menyerahkan fotocopy dokumen yang memuat duduk perkara, fotocopy surat-surat yang diperlukan dan hal-hal lain yang terkait dengan sengketa kepada mediator.
Pasal 9 menyatakan bahwa mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi. Dalam proses mediasi termasuk para pihak dapat didampingi oleh kuasa hukumnya. Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Yang dimaksud dengan kaukus, sebagaimana dijelaskan oleh pasal 1 butir (4), adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak dengan tanpa dihadiri oleh pihak lainnya.
Dalam hal ini, mediator wajib mendorong para pihak yang bersengketa untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. Dalam proses mediasi ini, sebagaimana diatur dalam pasal 10, seorang mediator--atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum--dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu para pihak dalam penyelesaian perbedaan. Semua biaya jasa seorang ahli atau lebih ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.
Proses mediasi ini, sebagaimana diatur oleh pasal 9 ayat (5), berlangsung paling lama dua puluh dua hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan mediator, dengan atau tanpa adanya kesepakatan antara kedua belah pihak di akhir proses mediasi.
Pasal 11 menyatakan bahwa dalam hal mediasi menghasilkan suatu kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai tersebut dengan ditandatangani oleh para pihak. Kesepakatan yang dirumuskan oleh kedua belah pihak tersebut wajib memuat klausul pencabutan perkara atau pernyataan bahwa perkara telah selesai. Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator wajib memeriksa materi kesepakatan untuk menghindari adanya kesepakatan yang bertentangan dengan hukum.
Setelah proses mediasi selesai para pihak wajib menghadap kembali pada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan telah dicapainya kesepakatan. Atas pemberitahuan akan adanya kesepakatan tersebut, hakim dapat mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akta perdamaian.
Pasal 12 menyatakan bahwa dalam hal mediasi tidak dapat menghasilkan suatu kesepakatan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, yaitu 22 (dua puluh dua) hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal untuk mencapai kesepakatan dan memberitahukan kegagalan proses mediasi tersebut kepada hakim.
Segera setelah menerima pemberitahuan akan gagalnya proses mediasi tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan Hukum Acara yang berlaku. Dalam hal ini, pasal 13 menyatakan bahwa jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lainnya. Fotocopy dokumen dan notulen atau catatan-catatan yang ditulis oleh mediator wajib dimusnahkan. Mediator juga tidak dapat diminta menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan.

E. Beberapa Catatan Mengenai Regulasi Mediasi di Indonesia
Meski dalam batas-batas tertentu bisa dianggap sebagai sebuah indikasi kemajuan bagi perkembangan mediasi, namun tidak bisa diingkari bahwa regulasi tentang mediasi di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan. Bahkan, regulasi mengenai mediasi di Indonesia yang ada dalam UU No. 30 Tahun 1999 dan Perma No. 02 Tahun 2003 bukan saja tidak memadai, melainkan juga nampak rancu. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1 butir (10) UU No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa alternative penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, mediasi hanyalah salah satu prosedur penyelesaian sengketa atau beda pendapat di luar pengadilan. Tidak ada penjelasan lebih lanjut karena dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan “cukup jelas”.
Sementara pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 juga mengandung beberapa kelemahan mendasar. Dalam pasal 3 UU tersebut dikatakan bahwa dalam hal suatu sengketa atau beda pendapat tidak dapat diselesaikan, maka suatu sengketa atau beda pendapat tersebut, atas kesepakatan tertulis para pihak, dapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Sedangkan pasal selanjutnya, yakni pasal 4, menyatakan apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli ataupun seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat atau mediator tersebut tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternative penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
[5] Pertanyaan yang bisa dikemukakan adalah mengapa dalam dua tahapan penyelesaian sengketa tersebut bisa sama-sama menggunakan mediator?
Kelemahan lain mengenai regulasi mediasi adalah persoalan batas waktu. Mengacu pada pada pasal 9 ayat (5) Perma No. 02 Tahun 2003, batasan waktu untuk melakukan mediasi bagi perkara yang sedang disengketakan di pengadilan adalah 22 hari dan setelahnya harus dikembalikan pada proses litigatif di pengadilan. Cukup menarik bahwa Ali Mucyidin, alumnus program magister IAIN Walisongo Semarang, dalam penelitiannya mengidentifikasi beberapa persoalan yang menjadi problem utama penyebab kegagalan para hakim dalam melakukan mediasi. Di antara penyebab kegagalan tersebut adalah persoalan singkatnya waktu yang diberikan. Waktu 22 hari yang diberikan bagi penyelesaian perkara melalui jalur mediasi dirasakan masih kurang.
[6]
Di samping itu, regulasi mengenai mediasi yang ada dalam peraturan perundangan lebih banyak mengatur proses pelaksanaan mediasi yang perkaranya merupakan limpahan dari pengadilan yang dalam tradisi mediasi Barat seringkali disebut dengan court mandated mediation. Karenanya, adalah hal yang wajar manakala beberapa kalangan menilai bahwa mediasi semata-mata hanyalah pemberdayaan pasal 130 HIR dan 154 RBg. Hal ini nampak dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai.
Sementara itu, pelaksanaan mediasi atas perkara yang sejak awal diajukan pada lembaga mediasi, yang bukan limpahan dari proses litigasi di pengadilan, tidak banyak diatur dalam peraturan perundangan tersebut. Regulasi mengenai pelaksanaan mediasi di luar pengadilan hanya ditemukan sepintas dalam pasal 6 ayat (7) UU No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan adanya kewajiban untuk mendaftarkan kesepakatan tertulis yang dicapai di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan kesepakatan tertulis tersebut. Padahal, melihat kecenderungan menjamurnya pusat-pusat mediasi dan animo masyarakat yang mulai “melirik” mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sangat sulit untuk menyatakan bahwa fenomena tersebut cukup diatur dengan satu atau dua pasal saja.
[1]Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan mediasi sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988) hal. 569. Sedangkan Gary Goodpaster mendefinisikan mediasi sebagai proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (impartial) bekerja sama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Lihat Gary Goodpaster, Negosiasi dan Mediasi: Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi, (Jakarta: ELIPS Project, 1993), hal. 201
[2]Lihat Naskah Sambutan Ketua Mahkamah Agung RI Pada Temu Karya Tentang Mediasi, tanggal 7 Januari 2003
[3]Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 133
[4]Ibid, hal. 134
[5]Kritik senada juga disampaikan oleh Retnowulan Sutantio, salah seorang narasumber pada Temu Karya Tentang Mediasi. Lihat Retnowulan Sutantio, “Mediasi dan Dading”, dalam Mahkamah Agung RI, Mediasi dan Perdamaian, (Jakarta: Proyek Pendidikan dan Pelatihan Tehnis Fungsional Hakim dan Non Hakim MA RI, 2003), hal. 7-8
[6]Ali Muchyidin, Mediasi Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Tesis Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo, 2006

Rabu, 26 September 2007

REVIEW ON SARTONO KARTODIRJO'S DISSERTATION: "THE PEASANTS’ REVOLT OF BANTEN IN 1888"




Pendahuluan
Bila review disertasi dimaknai sebagai satu upaya untuk melihat kembali dan mencari titik-titik kuat dan lemah dari sebuah disertasi, maka hal itu akan terasa sulit untuk dilakukan, apalagi terhadap disertasi Sartono Kartodirdjo yang terlanjur banyak dipuji orang. Disertasi tersebut banyak dipuji karena di samping kedalaman analisis-sosiologisnya juga karena kecenderungannya untuk merintis tradisi historiografi dari yang sebelumnya banyak berorientasi pada sejarah politik ke arah sejarah social. Meski Sartono bukanlah yang pertama
[2] merintis tradisi historiografi mengenai gerakan-gerakan social di Indonesia, namun dia yang secara gemilang memunculkan salah satu elemen bangsa yang selama ini tidak banyak diperhatikan para sejarahwan, yakni para petani Banten, ke atas panggung sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Secara garis besar, disertasi yang berjudul “The Peasants’ Revolt of Banten in 1888” tersebut terdiri dari sepuluh bab. Bab I merupakan pengantar yang terdiri dari pokok pembahasan, orientasi-orientasi historis yang ada, tinjauan mengenai beberapa studi, lingkup dan tujuan studi, orientasi dan pendekatan teoritis, rangkuman studi, dan catatan metodologis. Secara keseluruhan, bab pertama ini merupakan acuan bagi keseluruhan isi dari disertasi ini.
Bab II menguraikan latar belakang sosio-ekonomis munculnya gerakan pemberontakan petani Banten. Kerangka teoritik yang membingkai studi ini adalah hipotesis bahwa gerakan keagamaan, yang pada hakikatnya merupakan gerakan social, mempunyai hubungan yang khusus dengan kelas-kelas social, dengan kondisi-kondisi ekonomi yang berlaku bagi mereka, dan dengan etos cultural di dalam kelas-kelas social tersebut. Lebih lanjut bab II ini menjelaskan hubungan antara orientasi ideologis gerakan itu dan golongan-golongan social dari mana gerakan itu memperoleh anggota-anggotanya. Perpecahan social yang tajam dalam masyarakat Banten dipaparkan dari segi sosio-ekonomis kelompok-kelompok yang saling bertentangan, yang konflik sosialnya kemudian dipertajam oleh dampak kebudayaan Barat.
[3]
Bab III menjelaskan perkembangan politik yang terjadi di wilayah Banten. Kekuasaan Belanda dengan berbagai kebijakan politik yang dibuatnya menimbulkan ketidakstabilan politik di wilayah tersebut. Secara berangsur-angsur pemerintah kolonial membangun sistem birokrasi yang memaksakan peraturan-peraturan legal-rasional kepada rakyat. Dari sini, ketegangan antara aristokrasi tradisonal dan elit agama menjadi lebih kentara. Elit agama dan sebagian aristocrat lama tetap berorientasi pada tradisionalitas, sementara elit baru lebih cenderung menerima modernisasi yang dibawa pemerintahan kolonial. Di bawah pengaruh kolonial, masyarakat Banten terpecah menjadi kelompok-kelompok yang saling bertentangan berdasarkan kesetiaan kepada lembaga-lembaga tradisional atau kepada lembaga-lembaga yang didatangkan dari luar. Hal ini tentu mengganggu pola-pola integrasi politik yang tradisional, sedangkan kekuasaan Belanda yang telah semakin kokoh menyebabkan kekuatan-kekuatan tradisional kesulitan untuk mempertahankan pengaruhnya atas masyarakat. Satu-satunya cara untuk memberikan reaksi atas munculnya efek yang mengacaukan lembaga-lembaga tradisional tersebut adalah dengan memobilisasi kaum petani dan melawan penjajahan Belanda.[4]
Bab IV menjelaskan adanya pergolakan social yang kronis sebagai satu gejala disintegrasi masyarakat Banten setelah runtuhnya kesultanan Banten. Realitas ini merupakan akibat ketidakstabilan sistem politik yang berlangsung semenjak kwartal pertama abad ke-19. Di satu sisi terjadi bentrokan antara nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai modern serta keruntuhan kekuatan-kekuatan social yang lama, sementara di sisi yang lain tidak ada kekuatan integrative lain yang menggantikannya. Kedudukan elit baru, berkat persekutuannya dengan kekuasaan yang dominan, bertambah kuat. Meski demikian, untuk waktu yang cukup lama pengaruh elit baru ini tidak efektif, karena rakyat telah terbiasa memandang pemerintah kolonial dengan sikap tidak hormat, menghina dan malahan membangkang.[5]
Sedangkan bab V menjelaskan adanya fenomena kebangkitan kembali agama yang meluas ke seluruh pulau Jawa dan sebagian besar wilayah lain di Indonesia selama paruh kedua abad ke-19. Fenomena ini berkaitan erat dengan meningkatnya jumlah orang yang naik haji, menyebarnya tarekat-tarekat dan pesantren. Kebangkitan kembali agama ini mampu mencetuskan tanggapan yang emosional terhadap situasi-situasi yang mengganggu atau menimbulkan frustasi. Sementara tarekat-tarekat yang tumbuh dan berkembang dengan suburnya mendorong fanatisme, sedangkan gagasan-gagasan eskatologis Islam mengubah para anggota tarekat menjadi kelompok-kelompok revolusioner yang militan, yang bertujuan menggulingkan kekuasaan pemerintah Belanda.
Bab VI menjelaskan peristiwa-peristiwa penting yang mendahului ledakan pemberontakan, mulai dari tahap pendahuluan untuk mengobarkan semangat massa sampai pada tahap persiapan formal yang sesungguhnya. Keresahan umum memanifestasikan dirinya dalam agitasi yang meningkat di kalangan para santri. Sementara kunjungan para guru tarekat di berbagai wilayah di Jawa telah mengobarkan semangat “perang sabil” tidak di saja di kalangan para santri, melainkan juga di kalangan petani. Cara propagandanya adalah dengan berkampanye dan melakukan indoktrinasi serentak mengenai gagasan perang suci, dan menawarkan janji-janji yang menggiurkan seperti penghapusan pajak dan pendirian negara Islam. Singkatnya, masa persiapan ini adalah saat di mana para pemimpin gerakan ini tampil ke muka, saat di mana komunikasi di antara pemimpin itu dibentuk dan diperkuat, dan rencana serta siasat disusun.
Sedangkan bab VII mendeskripsikan terjadinya pemberontakan yang meletus pada malam hari tanggal 9 Juli 1888. Pemberontakan yang terpenting terjadi di Cilegon, di mana pemusatan pemberontakan yang terbesar meledak dalam bentuk tindakan kekerasan, pembunuhan, penganiayaan dan perampokan. Deskripsi dalam bab ini mencakup keseluruhan proses, mulai dari serangan yang pertama hingga tertawannya para pemimpin pemberontakan.
Sedangkan bab VIII dan IX serta X menjelaskan tahap akhir pemberontakan, terutama menyangkut upaya-upaya penyelamatan korban-korban yang selamat dan pengejaran terhadap pemimpin-pemimpin pemberontakan yang memakan waktu cukup lama. Bab terakhir tersebut menjelaskan kebijakan-kebijakan drastis yang diambil oleh pemerintah Belanda, misalnya menempatkan pasukan-pasukan kecil di tempat-tempat yang dianggap rawan pemberontakan, pemecatan pejabat-pejabat yang dianggap bersalah melakukan tindakan sewenang-wenang sehingga menimbulkan perasaan tidak puas dan kebencian di kalangan masyarakat, pencabutan ketetapan-ketetapan mengenai pelbagai pungutan pajak, dan pengawasan-pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan pesantren dan tarekat.
[6]

Kritik Metodologi dan Narasi Sejarah
Dengan mengkaji gerakan protes petani Banten tersebut, Sartono ikut merintis kecenderungan penulisan narasi sejarah social di Indonesia. Karyanya bisa disejajarkan dengan karya-karya para sejarahwan barat seperti George T. Mc Turnan Kahin dan Herbert Feith.
[7] Kecenderungan membuat narasi sejarah social dengan analisis sosiologis ini merupakan titik kuat disertasi Sartono. Ini tentu sangat berbeda dengan kecenderungan umum di kalangan sejarahwan yang selalu menulis sejarah politik yang selalu bisa diduga isinya, yaitu perebutan kekuasaan melalui perang, suksesi berdarah, dendam para petinggi kerajaan dan lain-lain.
Namun demikian, ketajaman analisis sosiologis yang dikemukakan oleh Sartono tidak bisa serta-merta menutupi kelemahan-kelemahan narasi sejarah yang dibuatnya. Sejak awal, Sartono memang telah menegaskan keinginannya untuk berupaya semaksimal mungkin keluar dari kecenderungan merunut historiografi yang Belanda-sentris untuk menuju historiografi yang Indonesia-sentris. Namun, apa yang diinginkan oleh Sartono tersebut tidaklah sepenuhnya berjalan sesuai rencana. Dalam prakteknya Sartono seringkali terjebak pada kecenderungan yang pertama.
Kegagalan Sartono menyusun historiografi yang Indonesia-sentris sebenarnya bermula dari pilihan-pilihan sumber data kesejarahan yang dipergunakannya. Sartono hampir tidak pernah beranjak dari penggunaan data-data sejarah yang berupa dokumen-dokumen resmi milik pemerintah Belanda, baik yang berupa surat-surat atau laporan resmi yang dibuat oleh Residen Banten atau pejabat pemerintahan untuk dikirimkan pada Gubernur Jenderal di Batavia dan berita-berita acara persidangan kasus tersebut, atau pun surat dari Bupati Serang, asisten residen dan lain-lain. Tentu tidak bisa disangkal bahwa sumber-sumber data berupa dokumen-dokumen resmi milik pemerintah Belanda tersebut memiliki ideology dan kepentingannya sendiri. Dalam hal ini Sartono tidak banyak menggunakan cerita tutur yang banyak berkembang di kalangan masyarakat Banten atau pun sumber-sumber sejarah tertulis versi masyarakat Banten.
Apa yang mesti dilakukan oleh seorang sejarahwan dalam menyusun historiografi atau narasi sejarah adalah menggunakan “pendekatan sejarah total”.
[8] Yang dimaksudkan dengan “pendekatan sejarah total” dalam hal ini adalah mengoptimalkan seluruh sumber-sumber sejarah, baik berupa prasasti, dokumen-dokumen resmi, tulisan-tulisan perorangan, cerita tutur atau bahkan legenda-legenda yang berkembang di kalangan masyarakat. Meski melakukan demitologisasi sejarah adalah sebuah keharusan, namun legenda yang berkembang di kalangan masyarakat di mana setting sejarah dibuat tidak dapat diabaikan begitu saja. Paling tidak, struktur yang menyangga berdirinya sebuah legenda tentu bisa menjadi sumber sejarah. Dalam hal ini kemampuan untuk memilih dan menentukan sumber sejarah mana yang akan dipakai dan mana yang akan diabaikan memang menjadi sesuatu yang harus dimiliki oleh seorang sejarahwan.
Apa yang mestinya dilakukan oleh sejarahwan ini tidak sepenuhnya dilakukan oleh Sartono. Dia, sebagaimana telah dikemukakan di muka, hanya mengoptimalkan dokumen-dokumen resmi milik pemerintah Belanda sebagai sumber sejarah. Kesalahan ini bukan hanya membuatnya gagal untuk menyusun rangkaian sejarah yang Indonesia-sentris, melainkan juga telah menyusun historiografi yang tidak sepenuhnya obyektif dan cenderung memihak. Keberpihakan narasi sejarah yang dibuat Sartono nampak dalam pilihan kata-kata (diksi) yang dipergunakannya. Misalnya ketika menggambarkan KH. Abdul Karim, guru tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah yang paling dihormati, sebagai “banyak memperoleh keuntungan-keuntungan materi yang besar dari pengikut-pengikutnya, yang berlomba-lomba membeli tasbih, kitab suci dan benda-benda keagamaan lainnya yang berasal dari kota suci”.
[9] Contoh lain adalah ketika Sartono menggambarkan Raden Penna, patih Anyer yang sangat dimusuhi oleh masyarakat Banten, sebagai patih yang “tabah dan berani”[10] dan menggambarkan para petani Banten yang melakukan pemberontakan sebagai “haus darah”, pertemuan rahasia yang dihadiri para pemimpin tarekat diungkapkan sebagai pertemuan gelap “dengan menggunakan agama sebagai kedok”,[11]. Sartono juga menampakkan ketidaknetralannya dengan menyatakan Haji Wasit sebagai “suka bertengkar dan gampang marah,”[12] menggambarkan aktifitas Haji Marjuki dengan ungkapan “menjual jimat sebagai usaha besar dan sangat menguntungkan”.[13] Pendek kata, dalam beberapa hal narasi sejarah yang dibuat oleh Sartono lebih mirip dengan laporan kronologi peristiwa yang sengaja ditulis untuk dikirimkan pada Ratu Belanda.
Kritik pada Sartono juga bisa diberikan pada substansi isi disertasinya. Keinginannya untuk memunculkan petani dalam panggung sejarah perjuangan bangsa membuatnya lupa memetakan pemberontakan rakyat Banten dalam konteks gerakan religio-politik yang lagi marak pada saat itu. Sartono tidak banyak mengungkap situasi global yang terjadi di luar Banten, seolah-olah bahwa pemberontakan rakyat Banten terpisah dan tidak memiliki kaitan apa pun dengan dunia Islam lainnya. Stoddard melihat bahwa di hampir seluruh wilayah di Asia dan Afrika Utara, lembaga-lembaga tarekat antara abad ke-18 atau 19 banyak yang terseret dalam gerakan religio-politik.
[14] Memperhatikan penjelasan Stoddard tersebut, saya cenderung untuk menyatakan bahwa pemberontakan yang terjadi di Banten lebih merupakan gerakan kaum tarekat ketimbang gerakan petani. Dalam hal ini, Sartono memang telah menggambarkan bagaimana peran kaum tarekat dalam pemberontakan tersebut, namun dengan munculnya terma “the peasants’ revolt” maka peran tersebut nampak menjadi peran pinggiran. Padahal, berdasarkan identifikasi terhadap korban-korban yang jatuh di kalangan pemberontak nampak sekali bahwa sebagian besar adalah para anggota tarekat.
Sartono juga tidak membuat pemetaan yang jelas mengenai faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya pemberontakan di Banten. Paparan Sartono mengesankan bahwa semua factor, baik ketidakstabilan social, ekonomi, politik maupun agama, sama dominannya dalam menyebabkan terjadinya pemberontakan tersebut. Dalam hal ini, mestinya Sartono perlu memilah mana yang masuk dalam kategori factor, kondisi atau prasyarat yang cukup bagi terjadinya sebuah pemberontakan (sufficient conditions) dan mana factor, kondisi atau prasyarat yang dominan dan menjadi penentu terjadinya pemberontakan (necessary conditions). Namun hal itu tidak dilakukan Sartono. Itulah kenapa kemudian Sartono tidak mampu menjelaskan mengapa para pimpinan pemberontakan menentukan hari Ahad tanggal 8 Juli 1888 sebagai hari yang baik untuk mengawali pemberontakan.
Betapapun narasi sejarah yang dibuat Sartono banyak memiliki kelemahan, itu semua tidak akan menghalanginya untuk disebut sebagai seorang sejarahwan besar yang pernah dilahirkan di negeri ini. Sartono Kartodirjo tetaplah sejarahwan handal yang karya-karyanya layak untuk dibaca oleh siapa pun yang meminati studi ini. Wallahu a’lam bi al-shawab.















































[2]Banyak kalangan sejarahwan, termasuk Sartono Kartodirjo sendiri, menilai bahwa tradisi historiografi mengenai sejarah social di Indonesia dirintis oleh Wiselius, Cohen Stuart, Brandes, Snouck Hurgronje dan Drewes. Lihat Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten: 1888, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984, hal. 19
[3]Ibid, hal. 34-35
[4]Ibid, hal. 35-36
[5]Ibid, hal. 39-40
[6]Ibid, hal. 40
[7]M. Dawam Rahardjo, Ilmu Sejarah Profetik dan Analisis Transformasi Masyarakat, Pengantar Buku Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1994, hal. 11
[8]Meski lebih nampak sebagai novel sejarah ketimbang buku sejarah, buku yang ditulis oleh Sumanto Al-Qurthuby yang berjudul Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah Islamisasi Jawa pada abad XV merupakan contoh yang cukup bagus dalam penggunaan “pendekatan sejarah total”.
[9]Sartono, Ibid, hal. 258
[10]Ibid, hal. 325
[11]Ibid, hal. 257
[12]Ibid, hal. 269
[13]Ibid, hal. 267
[14]L. Stoddard, Dunia Baru Islam, Jakarta: Deppen, 1966, hal. 50