Rabu, 26 September 2007

REVIEW ON SARTONO KARTODIRJO'S DISSERTATION: "THE PEASANTS’ REVOLT OF BANTEN IN 1888"




Pendahuluan
Bila review disertasi dimaknai sebagai satu upaya untuk melihat kembali dan mencari titik-titik kuat dan lemah dari sebuah disertasi, maka hal itu akan terasa sulit untuk dilakukan, apalagi terhadap disertasi Sartono Kartodirdjo yang terlanjur banyak dipuji orang. Disertasi tersebut banyak dipuji karena di samping kedalaman analisis-sosiologisnya juga karena kecenderungannya untuk merintis tradisi historiografi dari yang sebelumnya banyak berorientasi pada sejarah politik ke arah sejarah social. Meski Sartono bukanlah yang pertama
[2] merintis tradisi historiografi mengenai gerakan-gerakan social di Indonesia, namun dia yang secara gemilang memunculkan salah satu elemen bangsa yang selama ini tidak banyak diperhatikan para sejarahwan, yakni para petani Banten, ke atas panggung sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Secara garis besar, disertasi yang berjudul “The Peasants’ Revolt of Banten in 1888” tersebut terdiri dari sepuluh bab. Bab I merupakan pengantar yang terdiri dari pokok pembahasan, orientasi-orientasi historis yang ada, tinjauan mengenai beberapa studi, lingkup dan tujuan studi, orientasi dan pendekatan teoritis, rangkuman studi, dan catatan metodologis. Secara keseluruhan, bab pertama ini merupakan acuan bagi keseluruhan isi dari disertasi ini.
Bab II menguraikan latar belakang sosio-ekonomis munculnya gerakan pemberontakan petani Banten. Kerangka teoritik yang membingkai studi ini adalah hipotesis bahwa gerakan keagamaan, yang pada hakikatnya merupakan gerakan social, mempunyai hubungan yang khusus dengan kelas-kelas social, dengan kondisi-kondisi ekonomi yang berlaku bagi mereka, dan dengan etos cultural di dalam kelas-kelas social tersebut. Lebih lanjut bab II ini menjelaskan hubungan antara orientasi ideologis gerakan itu dan golongan-golongan social dari mana gerakan itu memperoleh anggota-anggotanya. Perpecahan social yang tajam dalam masyarakat Banten dipaparkan dari segi sosio-ekonomis kelompok-kelompok yang saling bertentangan, yang konflik sosialnya kemudian dipertajam oleh dampak kebudayaan Barat.
[3]
Bab III menjelaskan perkembangan politik yang terjadi di wilayah Banten. Kekuasaan Belanda dengan berbagai kebijakan politik yang dibuatnya menimbulkan ketidakstabilan politik di wilayah tersebut. Secara berangsur-angsur pemerintah kolonial membangun sistem birokrasi yang memaksakan peraturan-peraturan legal-rasional kepada rakyat. Dari sini, ketegangan antara aristokrasi tradisonal dan elit agama menjadi lebih kentara. Elit agama dan sebagian aristocrat lama tetap berorientasi pada tradisionalitas, sementara elit baru lebih cenderung menerima modernisasi yang dibawa pemerintahan kolonial. Di bawah pengaruh kolonial, masyarakat Banten terpecah menjadi kelompok-kelompok yang saling bertentangan berdasarkan kesetiaan kepada lembaga-lembaga tradisional atau kepada lembaga-lembaga yang didatangkan dari luar. Hal ini tentu mengganggu pola-pola integrasi politik yang tradisional, sedangkan kekuasaan Belanda yang telah semakin kokoh menyebabkan kekuatan-kekuatan tradisional kesulitan untuk mempertahankan pengaruhnya atas masyarakat. Satu-satunya cara untuk memberikan reaksi atas munculnya efek yang mengacaukan lembaga-lembaga tradisional tersebut adalah dengan memobilisasi kaum petani dan melawan penjajahan Belanda.[4]
Bab IV menjelaskan adanya pergolakan social yang kronis sebagai satu gejala disintegrasi masyarakat Banten setelah runtuhnya kesultanan Banten. Realitas ini merupakan akibat ketidakstabilan sistem politik yang berlangsung semenjak kwartal pertama abad ke-19. Di satu sisi terjadi bentrokan antara nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai modern serta keruntuhan kekuatan-kekuatan social yang lama, sementara di sisi yang lain tidak ada kekuatan integrative lain yang menggantikannya. Kedudukan elit baru, berkat persekutuannya dengan kekuasaan yang dominan, bertambah kuat. Meski demikian, untuk waktu yang cukup lama pengaruh elit baru ini tidak efektif, karena rakyat telah terbiasa memandang pemerintah kolonial dengan sikap tidak hormat, menghina dan malahan membangkang.[5]
Sedangkan bab V menjelaskan adanya fenomena kebangkitan kembali agama yang meluas ke seluruh pulau Jawa dan sebagian besar wilayah lain di Indonesia selama paruh kedua abad ke-19. Fenomena ini berkaitan erat dengan meningkatnya jumlah orang yang naik haji, menyebarnya tarekat-tarekat dan pesantren. Kebangkitan kembali agama ini mampu mencetuskan tanggapan yang emosional terhadap situasi-situasi yang mengganggu atau menimbulkan frustasi. Sementara tarekat-tarekat yang tumbuh dan berkembang dengan suburnya mendorong fanatisme, sedangkan gagasan-gagasan eskatologis Islam mengubah para anggota tarekat menjadi kelompok-kelompok revolusioner yang militan, yang bertujuan menggulingkan kekuasaan pemerintah Belanda.
Bab VI menjelaskan peristiwa-peristiwa penting yang mendahului ledakan pemberontakan, mulai dari tahap pendahuluan untuk mengobarkan semangat massa sampai pada tahap persiapan formal yang sesungguhnya. Keresahan umum memanifestasikan dirinya dalam agitasi yang meningkat di kalangan para santri. Sementara kunjungan para guru tarekat di berbagai wilayah di Jawa telah mengobarkan semangat “perang sabil” tidak di saja di kalangan para santri, melainkan juga di kalangan petani. Cara propagandanya adalah dengan berkampanye dan melakukan indoktrinasi serentak mengenai gagasan perang suci, dan menawarkan janji-janji yang menggiurkan seperti penghapusan pajak dan pendirian negara Islam. Singkatnya, masa persiapan ini adalah saat di mana para pemimpin gerakan ini tampil ke muka, saat di mana komunikasi di antara pemimpin itu dibentuk dan diperkuat, dan rencana serta siasat disusun.
Sedangkan bab VII mendeskripsikan terjadinya pemberontakan yang meletus pada malam hari tanggal 9 Juli 1888. Pemberontakan yang terpenting terjadi di Cilegon, di mana pemusatan pemberontakan yang terbesar meledak dalam bentuk tindakan kekerasan, pembunuhan, penganiayaan dan perampokan. Deskripsi dalam bab ini mencakup keseluruhan proses, mulai dari serangan yang pertama hingga tertawannya para pemimpin pemberontakan.
Sedangkan bab VIII dan IX serta X menjelaskan tahap akhir pemberontakan, terutama menyangkut upaya-upaya penyelamatan korban-korban yang selamat dan pengejaran terhadap pemimpin-pemimpin pemberontakan yang memakan waktu cukup lama. Bab terakhir tersebut menjelaskan kebijakan-kebijakan drastis yang diambil oleh pemerintah Belanda, misalnya menempatkan pasukan-pasukan kecil di tempat-tempat yang dianggap rawan pemberontakan, pemecatan pejabat-pejabat yang dianggap bersalah melakukan tindakan sewenang-wenang sehingga menimbulkan perasaan tidak puas dan kebencian di kalangan masyarakat, pencabutan ketetapan-ketetapan mengenai pelbagai pungutan pajak, dan pengawasan-pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan pesantren dan tarekat.
[6]

Kritik Metodologi dan Narasi Sejarah
Dengan mengkaji gerakan protes petani Banten tersebut, Sartono ikut merintis kecenderungan penulisan narasi sejarah social di Indonesia. Karyanya bisa disejajarkan dengan karya-karya para sejarahwan barat seperti George T. Mc Turnan Kahin dan Herbert Feith.
[7] Kecenderungan membuat narasi sejarah social dengan analisis sosiologis ini merupakan titik kuat disertasi Sartono. Ini tentu sangat berbeda dengan kecenderungan umum di kalangan sejarahwan yang selalu menulis sejarah politik yang selalu bisa diduga isinya, yaitu perebutan kekuasaan melalui perang, suksesi berdarah, dendam para petinggi kerajaan dan lain-lain.
Namun demikian, ketajaman analisis sosiologis yang dikemukakan oleh Sartono tidak bisa serta-merta menutupi kelemahan-kelemahan narasi sejarah yang dibuatnya. Sejak awal, Sartono memang telah menegaskan keinginannya untuk berupaya semaksimal mungkin keluar dari kecenderungan merunut historiografi yang Belanda-sentris untuk menuju historiografi yang Indonesia-sentris. Namun, apa yang diinginkan oleh Sartono tersebut tidaklah sepenuhnya berjalan sesuai rencana. Dalam prakteknya Sartono seringkali terjebak pada kecenderungan yang pertama.
Kegagalan Sartono menyusun historiografi yang Indonesia-sentris sebenarnya bermula dari pilihan-pilihan sumber data kesejarahan yang dipergunakannya. Sartono hampir tidak pernah beranjak dari penggunaan data-data sejarah yang berupa dokumen-dokumen resmi milik pemerintah Belanda, baik yang berupa surat-surat atau laporan resmi yang dibuat oleh Residen Banten atau pejabat pemerintahan untuk dikirimkan pada Gubernur Jenderal di Batavia dan berita-berita acara persidangan kasus tersebut, atau pun surat dari Bupati Serang, asisten residen dan lain-lain. Tentu tidak bisa disangkal bahwa sumber-sumber data berupa dokumen-dokumen resmi milik pemerintah Belanda tersebut memiliki ideology dan kepentingannya sendiri. Dalam hal ini Sartono tidak banyak menggunakan cerita tutur yang banyak berkembang di kalangan masyarakat Banten atau pun sumber-sumber sejarah tertulis versi masyarakat Banten.
Apa yang mesti dilakukan oleh seorang sejarahwan dalam menyusun historiografi atau narasi sejarah adalah menggunakan “pendekatan sejarah total”.
[8] Yang dimaksudkan dengan “pendekatan sejarah total” dalam hal ini adalah mengoptimalkan seluruh sumber-sumber sejarah, baik berupa prasasti, dokumen-dokumen resmi, tulisan-tulisan perorangan, cerita tutur atau bahkan legenda-legenda yang berkembang di kalangan masyarakat. Meski melakukan demitologisasi sejarah adalah sebuah keharusan, namun legenda yang berkembang di kalangan masyarakat di mana setting sejarah dibuat tidak dapat diabaikan begitu saja. Paling tidak, struktur yang menyangga berdirinya sebuah legenda tentu bisa menjadi sumber sejarah. Dalam hal ini kemampuan untuk memilih dan menentukan sumber sejarah mana yang akan dipakai dan mana yang akan diabaikan memang menjadi sesuatu yang harus dimiliki oleh seorang sejarahwan.
Apa yang mestinya dilakukan oleh sejarahwan ini tidak sepenuhnya dilakukan oleh Sartono. Dia, sebagaimana telah dikemukakan di muka, hanya mengoptimalkan dokumen-dokumen resmi milik pemerintah Belanda sebagai sumber sejarah. Kesalahan ini bukan hanya membuatnya gagal untuk menyusun rangkaian sejarah yang Indonesia-sentris, melainkan juga telah menyusun historiografi yang tidak sepenuhnya obyektif dan cenderung memihak. Keberpihakan narasi sejarah yang dibuat Sartono nampak dalam pilihan kata-kata (diksi) yang dipergunakannya. Misalnya ketika menggambarkan KH. Abdul Karim, guru tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah yang paling dihormati, sebagai “banyak memperoleh keuntungan-keuntungan materi yang besar dari pengikut-pengikutnya, yang berlomba-lomba membeli tasbih, kitab suci dan benda-benda keagamaan lainnya yang berasal dari kota suci”.
[9] Contoh lain adalah ketika Sartono menggambarkan Raden Penna, patih Anyer yang sangat dimusuhi oleh masyarakat Banten, sebagai patih yang “tabah dan berani”[10] dan menggambarkan para petani Banten yang melakukan pemberontakan sebagai “haus darah”, pertemuan rahasia yang dihadiri para pemimpin tarekat diungkapkan sebagai pertemuan gelap “dengan menggunakan agama sebagai kedok”,[11]. Sartono juga menampakkan ketidaknetralannya dengan menyatakan Haji Wasit sebagai “suka bertengkar dan gampang marah,”[12] menggambarkan aktifitas Haji Marjuki dengan ungkapan “menjual jimat sebagai usaha besar dan sangat menguntungkan”.[13] Pendek kata, dalam beberapa hal narasi sejarah yang dibuat oleh Sartono lebih mirip dengan laporan kronologi peristiwa yang sengaja ditulis untuk dikirimkan pada Ratu Belanda.
Kritik pada Sartono juga bisa diberikan pada substansi isi disertasinya. Keinginannya untuk memunculkan petani dalam panggung sejarah perjuangan bangsa membuatnya lupa memetakan pemberontakan rakyat Banten dalam konteks gerakan religio-politik yang lagi marak pada saat itu. Sartono tidak banyak mengungkap situasi global yang terjadi di luar Banten, seolah-olah bahwa pemberontakan rakyat Banten terpisah dan tidak memiliki kaitan apa pun dengan dunia Islam lainnya. Stoddard melihat bahwa di hampir seluruh wilayah di Asia dan Afrika Utara, lembaga-lembaga tarekat antara abad ke-18 atau 19 banyak yang terseret dalam gerakan religio-politik.
[14] Memperhatikan penjelasan Stoddard tersebut, saya cenderung untuk menyatakan bahwa pemberontakan yang terjadi di Banten lebih merupakan gerakan kaum tarekat ketimbang gerakan petani. Dalam hal ini, Sartono memang telah menggambarkan bagaimana peran kaum tarekat dalam pemberontakan tersebut, namun dengan munculnya terma “the peasants’ revolt” maka peran tersebut nampak menjadi peran pinggiran. Padahal, berdasarkan identifikasi terhadap korban-korban yang jatuh di kalangan pemberontak nampak sekali bahwa sebagian besar adalah para anggota tarekat.
Sartono juga tidak membuat pemetaan yang jelas mengenai faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya pemberontakan di Banten. Paparan Sartono mengesankan bahwa semua factor, baik ketidakstabilan social, ekonomi, politik maupun agama, sama dominannya dalam menyebabkan terjadinya pemberontakan tersebut. Dalam hal ini, mestinya Sartono perlu memilah mana yang masuk dalam kategori factor, kondisi atau prasyarat yang cukup bagi terjadinya sebuah pemberontakan (sufficient conditions) dan mana factor, kondisi atau prasyarat yang dominan dan menjadi penentu terjadinya pemberontakan (necessary conditions). Namun hal itu tidak dilakukan Sartono. Itulah kenapa kemudian Sartono tidak mampu menjelaskan mengapa para pimpinan pemberontakan menentukan hari Ahad tanggal 8 Juli 1888 sebagai hari yang baik untuk mengawali pemberontakan.
Betapapun narasi sejarah yang dibuat Sartono banyak memiliki kelemahan, itu semua tidak akan menghalanginya untuk disebut sebagai seorang sejarahwan besar yang pernah dilahirkan di negeri ini. Sartono Kartodirjo tetaplah sejarahwan handal yang karya-karyanya layak untuk dibaca oleh siapa pun yang meminati studi ini. Wallahu a’lam bi al-shawab.















































[2]Banyak kalangan sejarahwan, termasuk Sartono Kartodirjo sendiri, menilai bahwa tradisi historiografi mengenai sejarah social di Indonesia dirintis oleh Wiselius, Cohen Stuart, Brandes, Snouck Hurgronje dan Drewes. Lihat Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten: 1888, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984, hal. 19
[3]Ibid, hal. 34-35
[4]Ibid, hal. 35-36
[5]Ibid, hal. 39-40
[6]Ibid, hal. 40
[7]M. Dawam Rahardjo, Ilmu Sejarah Profetik dan Analisis Transformasi Masyarakat, Pengantar Buku Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1994, hal. 11
[8]Meski lebih nampak sebagai novel sejarah ketimbang buku sejarah, buku yang ditulis oleh Sumanto Al-Qurthuby yang berjudul Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah Islamisasi Jawa pada abad XV merupakan contoh yang cukup bagus dalam penggunaan “pendekatan sejarah total”.
[9]Sartono, Ibid, hal. 258
[10]Ibid, hal. 325
[11]Ibid, hal. 257
[12]Ibid, hal. 269
[13]Ibid, hal. 267
[14]L. Stoddard, Dunia Baru Islam, Jakarta: Deppen, 1966, hal. 50

Tidak ada komentar: