Rabu, 26 September 2007

MEMBACA KEMBALI TESIS HUNTINGTON TENTANG BENTURAN PERADABAN ISLAM VERSUS BARAT


Pendahuluan
Dukungan George W. Bush, Presiden Amerika Serikat, terhadap pemerintah Denmark yang “dibombardir” dengan gelombang unjuk rasa karena muatan karikatur Nabi Muhammad beberapa waktu yang lalu menyisakan banyak pertanyaan. Salah satu pertanyaan yang mungkin dapat dimunculkan adalah apakah dukungan Bush terhadap pemerintah Denmark tersebut merupakan support biasa dari negara “polisi dunia” kepada sebuah negara yang sedang mengalami goncangan, atau dukungan tersebut merupakan dukungan antar negara yang merasa memiliki kesamaan ideologi atau bahkan peradaban? Kalau misalnya dukungan tersebut adalah dukungan model yang terakhir, maka pertanyaan selanjutnya adalah adakah dukungan tersebut merupakan babakan awal dari benturan peradaban (clash of civilization) sebagaimana yang diramalkan oleh Huntington beberapa waktu yang lalu?
Dalam konteks ketegangan antara pemerintah Denmark yang disupport oleh Amerika dengan dunia Islam ini, tesis mengenai benturan Islam-barat yang pernah diwacanakan oleh Huntington nampaknya akan kembali menjadi diskursus yang menarik untuk didiskusikan. Tesis Huntington sendiri sebenarnya muncul dalam konteks perdebatan tentang arah sejarah dunia pasca berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan ambruknya rival terberat Amerika Serikat (atau Barat) selama ini, Uni Soviet, pada akhir dekade 1980-an.
Perdebatan tentang arah sejarah dunia pasca perang dingin ini diawali dengan tesis yang melegenda tentang berakhirnya sejarah (the end of history) dari Francis Fukuyama, Dekan Fakultas dan Professor Ilmu Politik pada Paul H. Nitze School of Advanced International Studies, John Hopkins University. Dalam tesis yang ditulis dalam bentuk essay ini, Fukuyama memulai debat besar dengan menyatakan bahwa dengan berakhirnya era perang dingin maka tibalah akhir sejarah, yakni memuncaknya evolusi ideologis umat manusia. Bagi Fukuyama, dengan berakhirnya perang dingin berarti perdebatan mengenai bentuk ideal pemerintahan telah selesai, dan demokrasi liberal telah memenangkan pertarungan. Kemenangan liberalisme demokrasi dan ekonomi merupakan kemenangan yang tak terbantahkan dan itu berarti memudarnya pesona sistem alternatif yang ada. Dengan demikian, persoalan-persoalan ideologis adalah permasalahan masa silam, demikian juga dengan konflik-konflik besar. Perang memang masih mungkin terjadi, namun itu hanya akan terjadi di antara negara-negara dunia ketiga yang masih terjerat dalam proses sejarah.
[1]
Tanggapan paling keras terhadap tesis Fukuyama di atas datang dari Huntington. Huntington mengawali kritikannya pada Fukuyama dengan mengurai persoalan-persoalan yang terkait dengan deklinisme
[2] dan endisme[3], dua terma yang pertama kali diperkenalkannya. Bagi Huntington, tesis Fukuyama, yang dimasukkannnya dalam kategori endisme, tidak memberikan warning akan adanya bahaya melainkan memunculkan ilusi kedamaian. Keyakinan tersebut tidak mengundang tindakan korektif tetapi rasa puas diri yang santai. Akibatnya, bila tesis endisme tersebut keliru maka konsekuensi yang ditanggung akan jauh lebih berbahaya.
Dalam pandangan Huntington, Fukuyama cukup tepat dalam menekankan peran kesadaran, ide dan ideologi dalam memotivasi dan membentuk tindakan manusia dan bangsa-bangsa. Dia juga benar dalam menunjuk akhir nyata dari daya tarik komunisme sebagai ideologi yang dipandangnya sebagai kegagalan besar. Namun, lanjut Huntington, merupakan suatu hal yang keliru untuk melompat dari merosotnya komunisme ke kemenangan global liberalisme dan hilangnya ideologi sebagai sebuah kekuatan sejarah.
[4]
Ada beberapa alasan mengapa Huntington menganggap bahwa tesis Fukuyama sangat lemah dalam memprediksi arah sejarah di masa depan. Pertama, kebangkitan kembali adalah hal yang sangat mungkin. Serangkaian gagasan atau sebuah ideologi mungkin saja memudar pamornya dalam satu generasi, namun ia bisa muncul lagi dengan kekuatan yang diperbarui pada satu atau dua generasi berikutnya. Kedua, penerimaan universal demokrasi liberal tidak menghindarkan terjadinya konflik-konflik dalam liberalisme. Sejarah ideologi adalah sejarah perpecahan. Pertarungan antara mereka yang memiliki versi yang berbeda dalam ideologi yang sama seringkali lebih sengit ketimbang pertarungan antara mereka yang memiliki ideologi yang sepenuhnya berbeda. Ketiga, kemenangan sebuah ideologi tidak menafikan kemungkinan munculnya ideologi-ideologi baru. Karena bangsa-bangsa dan masyarakat bisa dikatakan akan terus berkembang, sedangkan tantangan baru bagi kesejahteraan manusia akan selalu muncul. Hal ini tentu akan meniscayakan orang untuk mengembangkan konsep, teori dan -- bukan tidak mungkin-- ideologi baru. Keempat, kemenangan demokrasi liberal belum secara signifikan menjangkau negara-negara dunia ketiga. Bahkan, jika ada sebuah kecenderungan di dunia pada hari ini, maka kecenderungan itu adalah bahwa negara-negara kembali menengok budaya, nilai-nilai dan pola perilaku tradisional mereka.
[5]
Mendambakan akhir sejarah yang damai, demikian Huntington mengakhiri kritiknya pada Fukuyama, merupakan suatu hal yang manusiawi. Namun mengharapkan hal ini terjadi merupakan suatu hal yang tidak realistis, dan merencanakan hal ini agar terjadi adalah bencana besar.

Huntington : Sifat, Batas, Benturan, dan Pengerahan Peradaban
Empat tahun setelah perdebatan seputar prediksi sejarah pasca perang dingin, tepatnya pada musim panas tahun 1993, Huntington mengemukakan sebuah tesis yang menggegerkan dan bahkan melegenda hingga sekarang. Menurutnya, sumber utama konflik di dunia pasca perang dingin bukanlah ideologi atau ekonomi. Budayalah yang akan menjadi faktor pemecah-belah umat manusia dan sumber konflik yang dominan. Negara-bangsa masih menjadi aktor dominan dalam percaturan dunia, namun konflik utama dari politik global akan terjadi antara negara dan kelompok dari peradaban yang berbeda. Benturan peradaban akan mendominasi politik global, dan garis pemisah antara peradaban akan menjelma menjadi garis pertempuran di masa depan.
[6]
Dalam hal ini, Huntington menjelaskan bahwa sebuah peradaban adalah sebuah entitas budaya. Desa-desa, wilayah-wilayah, kelompok-kelompok etnis, kelompok-kelompok bangsa, dan kelompok-kelompok agama, semua memiliki budaya yang berlainan pada tingkat keragaman budaya yang juga berlainan. Budaya sebuah desa di Italia Selatan, misalnya, mungkin berbeda dengan budaya di sebuah desa di Italia Utara, tetapi keduanya sama-sama memiliki budaya Italia yang akan membedakannya dengan budaya desa-desa di Jerman. Komunitas Eropa, sebaliknya, memiliki ciri-ciri yang sama yang membedakannya dengan komunitas Cina atau Arab. Meski demikian, bangsa Arab, Cina atau Eropa bukanlah bagian dari sebuah entitas budaya yang lebih luas. Mereka membentuk peradaban. Dengan demikian, peradaban adalah pengelompokan budaya tertinggi dari sekelompok orang dan identitas budaya paling luas yang dimiliki orang-orang yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Ia terdefinisikan baik lewat unsur-unsur obyektif yang umum, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi, maupun melalui identifikasi diri yang subyektif.
Peradaban dapat meliputi sekelompok besar manusia, seperti halnya Cina, atau hanya sekelompok kecil orang, seperti orang-orang Karibia yang berbahasa Inggris. Ia juga dapat mencakup beberapa negara bangsa atau hanya satu negara bangsa. Ia tentu saja dapat melebur dan tumpang- tindih, dan bisa mencakup sub-sub peradaban. Ia merupakan entitas yang bermakna, dan meski batas-batas di antara peradaban jarang kentara, namun mereka sesungguhnya nyata. Ia juga bersifat dinamis, ada masa naik dan runtuh, terbelah dan menyatu.
[7]
Bagi Huntington, identitas peradaban akan semakin penting di masa mendatang, dan dunia akan dibentuk sebagian besar oleh hubungan timbal balik antara tujuh atau delapan peradaban besar, yaitu peradaban Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Ortodoks-Slavik, Amerika Latin dan kemungkinan besar juga peradaban Afrika.
Ada beberapa alasan mengapa konflik yang paling penting di masa mendatang akan terjadi sepanjang perbatasan budaya yang memisahkan satu peradaban dengan peradaban lain. Pertama, perbedaan antar peradaban bukan hanya nyata, melainkan juga mendasar. Peradaban dibedakan satu sama lain oleh sejarah, bahasa, kebudayaan, tradisi dan, yang paling penting, agama. Perbedan-perbedaan ini merupakan produk yang dihasilkan selama berabad-abad, karenanya tidak akan mudah lenyap. Perbedaan-perbedaan tersebut jauh lebih mendasar ketimbang perbedaan ideologi atau rejim politik. Kedua, dunia menjadi sebuah tempat yang lebih kecil. Hubungan timbal-balik antara masyarakat dari peradaban yang berbeda semakin meningkat. Peningkatan interaksi ini menguatkan kesadaran peradaban dan kepekaan akan perbedaan di antara peradaban dan perbedaan dalam peradaban. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial di seluruh dunia memisahkan manusia dari identitas lokal yang sudah lama ada. Proses ini juga melemahkan negara-bangsa sebagai sumber identitas. Keempat, meningkatnya kesadaran-peradaban yang diperkuat oleh peran ganda Barat. Di satu sisi, Barat sedang berada dalam puncak kekuasaannya, sedang pada sisi yang lain, fenomena kembali ke akar terjadi di antara peradaban-peradaban non-Barat. Dalam hal ini, orang akan semakin sering mendengar Asianisasi, Hindunisasi, re-Islamisasi dan lain-lain. Kelima, berbeda dengan politik dan ekonomi, karakteristik dan perbedaan budaya tidak mudah dipadamkan dan dengan demikian juga tidak mudah dikompromikan dan dipecahkan.
Lebih lanjut Huntington juga menyatakan bahwa pertikaian antar peradaban terjadi pada dua tingkat, yaitu tingkat mikro dan tingkat makro. Pada tingkat mikro, kelompok-kelompok yang hidup berdampingan di sepanjang garis pemisah antara peradaban-peradaban akan bertikai, acapkali secara brutal, untuk memperebutkan kendali wilayah. Sedangkan pada tingkat makro, negara-negara dari peradaban yang berbeda bersaing untuk memperebutkan kekuasaan militer dan ekonomi, bertikai memperebutkan pengawasan atas lembaga internasional dan pihak ketiga, serta bersaing mempromosikan nilai-nilai politik dan keagamaan mereka.
[8]
Dalam hal ini, kelompok-kelompok atau negara-negara yang termasuk dalam sebuah peradaban yang terlibat dalam peperangan dengan orang-orang, kelompok atau negara dari peradaban lain biasanya cenderung untuk menggalang dukungan dari anggota lain dalam kelompok peradaban yang sama. Setelah berakhirnya perang dingin, kesamaan peradaban, yang oleh H. D. S. Grennway disebut sebagai gejala “negara satu puak”, menggantikan ideologi politik dan tatanan perimbangan kekuatan lama sebagai prinsip dasar untuk melakukan kerjasama dan koalisi. Konflik-konflik yang terjadi setelah berakhirnya perang dingin, seperti di Teluk Persia dan Bosnia, memang bukan merupakan perang besar antar peradaban, tetapi nampak bahwa konflik-konflik tersebut telah melibatkan beberapa elemen pengerahan peradaban, yang nampaknya semakin menjadi penting saat konflik tersebut berlanjut, dan hal ini mungkin memberikan sebuah gambaran masa depan.
Bagi Huntington, pengerahan dukungan berdasarkan peradaban sampai sekarang ini memang masih terbatas, namun hal ini nampak semakin berkembang, dan jelas memiliki potensi untuk menyebar lebih luas lagi. Posisi bangsa-bangsa dan perpecahan di antara mereka semakin nampak berkisar pada jalur peradaban. Di masa depan, konflik-konflik lokal yang mungkin meningkat menjadi perang besar adalah konflik-konflik yang terjadi di sepanjang garis pemisah antar peradaban. Perang dunia berikutnya, bila memang ada, adalah perang antar peradaban.
[9]

Huntington : Benturan Barat Vs Koalisi Konfusius-Islam
Dengan berakhirnya perang dingin, Barat menjadi satu-satunya kekuatan adidaya dunia, karena Uni Soviet, lawan adidayanya selama ini, telah lenyap dari peta dunia. Konflik militer antar negara-negara Barat tidak lagi terpikirkan, dan kekuasaan militer Barat tidak tertandingi. Selain Jepang, Barat tidak menghadapi tantangan ekonomi. Barat mendominasi kekuatan politik dan keamanan internasional, dan bersama Jepang mendominasi lembaga ekonomi internasional. Barat memanfaatkan lembaga, kekuatan militer, dan sumber daya ekonomi internasional untuk mengendalikan dunia dengan cara-cara yang dapat mempertahankan dominasi Barat, melindungi kepentingan Barat, dan mempromosikan nilai-nilai politik dan ekonomi Barat.
Bagi Huntington, setidaknya itulah cara masyarakat non-Barat melihat dunia baru, dan terdapat elemen kebenaran yang signifikan dalam pandangan mereka. Perbedaan kekuasaan dan persaingan untuk mendapatkan kekuasaan militer, ekonomi, dan kelembagaan dengan demikian merupakan satu sumber konflik antara Barat dan peradaban lainnya, dan perbedaan budaya adalah sumber konflik yang lain.
Pada tingkat permukaan, banyak budaya Barat yang telah membanjiri dunia. Namun, pada tingkat yang lebih mendasar, konsep Barat berbeda secara mendasar dari konsep-konsep yang berlaku dalam peradaban lain. Upaya-upaya penyebaran konsep-konsep yang berasal dari Barat seringkali justeru menghasilkan reaksi menentang dan peneguhan kembali nilai-nilai lokal. Maka poros utama politik dunia di masa depan, menurut Huntington, adalah konflik yang terjadi antara “Barat dan yang lainnya”, serta perlawanan dari peradaban non-Barat terhadap kekuasaan dan nilai-nilai Barat. Respon terhadap penyebaran nilai-nilai Barat mengambil satu bentuk atau kombinasi dari tiga bentuk. Pada satu titik yang sangat ekstrem, negara-negara non-Barat, seperti Burma dan Korea Utara, dapat berusaha melakukan isolasi, untuk melindungi masyarakat mereka dari penetrasi yang dilakukan Barat, dan dengan demikian memilih keluar dari partisipasi dalam komunitas global yang didominasi Barat. Alternatif kedua, berupaya bergabung dengan dan menerima nilai-nilai serta lembaga-lembaganya. Yang terakhir adalah berusaha “menyeimbangkan” Barat dengan cara mengembangkan kekuasaan ekonomi dan militer serta bekerja sama dengan masyarakat non-Barat lainnya melawan Barat, dan pada saat yang sama mempertahankan nilai-nilai dan institusi lokal, atau dengan kata lain berupaya menjadi modern tanpa harus mengalami pembaratan.
[10]
Patut dicatat bahwa hambatan bagi negara-negara non-Barat untuk bergabung dengan Barat sangat beragam. Negara-negara yang, karena alasan budaya dan kekuasaan, tidak ingin atau tidak bisa bergabung dengan Barat bersaing dengan Barat dengan mengembangkan ekonomi, militer dan kekuasaan politik mereka. Mereka melakukan hal ini dengan memajukan perkembangan internal mereka dan melalui kerjasama dengan negara-negara non-Barat lainnya. Bentuk yang paling mencolok dari kerjasama ini, demikian Huntington mengatakan, adalah hubungan Konfusius-Islam yang muncul untuk menghadang kepentingan, nilai dan kekuasaan Barat.[11]
Konflik antara Barat dengan negara-negara Konfusius-Islam sebagian besar berfokus pada senjata nuklir, kimia, biologi, peluru kendali balistik dan peralatan canggih lain untuk meluncurkan senjata-senjata itu. Bisa dipastikan, perhatian Barat akan terfokus pada bangsa-bangsa yang pada dasarnya atau kemungkinan besar memusuhi Barat, seperti negara-negara Konfusius-Islam, dengan membuat traktat dan konvensi internasional tentang pengawasan industri pengembangan senjata. Sementara negara-negara Konfusius-Islam pada sisi yang lain juga menegaskan hak mereka untuk memperoleh dan menyebarkan persenjataan apapun yang mereka pandang penting bagi keamanan mereka.
Hubungan militer Konfusius-Islam dengan demikian memang terjadi, dan dirancang untuk mendorong kemampuan penguasaan negara-negara anggotanya atas persenjataan dan teknologi yang dibutuhkan untuk menghadapi kekuatan militer Barat. Dengan demikian, sebuah bentuk perlombaan senjata yang baru telah muncul antara negara-negara Konfusius-Islam melawan Barat. Dalam perlombaan senjata yang lama, masing-masing pihak berupaya untuk mengimbangi atau mencapai superioritas terhadap pihak lain, sedangkan dalam bentuknya yang baru satu pihak mengembangkan persenjataannya dan pihak lain berupaya menekan kemampuan lawannya dalam pengembangan senjata.
[12]
Uraian Huntington ini diakhiri dengan rekomendasi simpatik yang mengharuskan Barat untuk mengembangkan pemahaman yang lebih baik atas agama-agama besar dan asumsi filosofis yang mendasari peradaban lain. Hal ini membutuhkan usaha untuk mengidentifikasi unsur-unsur persamaan antara Barat dengan peradaban lain. Di masa yang akan datang, tidak akan ada peradaban yang universal, melainkan sebuah dunia dengan peradaban yang berbeda-beda, dan setiap peradaban harus belajar untuk hidup berdampingan dengan peradaban yang lain.
[13]

Huntington, Sandaran Data Sejarah dan Arah Sejarah di Masa Depan
Bagi saya, tesis Huntington memang sangat layak untuk dikritisi. Huntington memang betul dalam mencendera realitas bahwa Islam telah menjadi kekuatan trans-nasional yang paling menyebar dan kuat setelah runtuhnya komunisme,
[14] namun Huntington gagal dalam mencandera kecenderungan arah sejarah di masa depan. Hal ini karena Huntington terlalu memaksakan bahwa perlu ada musuh, dalam hal ini Islam, yang harus dihadapi oleh Barat pasca tumbangnya Uni Soviet. Pemaksaan Huntington ini tentu sejalan dengan apa yang ada dalam benak sebagian orang Amerika yang selalu berupaya mencari musuh baru guna menguji coba kekuasaannya setelah runtuhnya komunisme[15] dan, celakanya, Islam menjadi pilihan pertama untuk dijadikan lawan.
Selain itu, pada rangkaian awal paparannya, Huntington menyebut tujuh atau delapan peradaban utama yang mungkin akan saling berkonfrontasi, yaitu Barat, Cina, Jepang, Islam, Hindu, Slavik Ortodok, Amerika Latin, dan mungkin juga Afrika. Banyak kalangan yang mengkritisi identifikasi peradaban yang dikemukakan Huntington tersebut. Donald K. Emmerson, misalnya, menilai bahwa identifikasi dan inventarisasi peradaban yang dikemukakan Huntington secara akademis sangat lemah. Identifikasi dan inventarisasi peradaban Huntington mencampur-adukkan banyak hal yang bermacam-macam ragamnya, termasuk dimensi letak (Barat), ajaran (Konfusius), etnis (Slavik), negara (Jepang), agama (Islam), dan benua (Afrika). Ketimbang memilah variabel tersebut secara jelas dan konsisten sehingga definisi peradaban, yang memang berganda aspeknya, dapat dibangun secara sistematis, Huntington memuaskan diri dengan susunan yang gampang saja: Peradaban merupakan golongan orang yang paling inklusif yang masih di bawah kategori seluruh manusia tapi sangat dirasakan para anggotanya sebagai sumber identitas pribadi. Huntington mengajukan kasus tiga peradaban, yaitu “orang-orang Arab, Cina, dan Barat” yang “tidak menjadi bagian dari ruang budaya yang lebih luas”. Namun pernyataan tersebut dia rusak sendiri dengan menyatakan “ Islam mempunyai bagian Arab, Turki dan Melayu”.
[16] Penggunaan istilah peradaban Konfusianis yang digunakan oleh Huntington untuk menunjuk Cina dan Korea Utara juga menyesatkan, karena istilah tersebut biasanya digunakan secara umum untuk mengidentifikasi bangsa-bangsa yang menggunakan huruf Kanji. Ini bisa diterapkan pada Jepang, Cina, Taiwan, Kedua Korea, Hongkong, Makao, bahkan Vietnam dan Singapura.[17]
Hemat saya, pandangan Huntington bahwa peradaban Islam dan Barat sebagai satu ancaman bagi yang lain tentu tidak sepenuhnya salah, karena memang ada individu-individu atau kelompok-kelompok pada dua peradaban ini yang memandang keduanya saling mengancam. Pandangan saling mengancam ini tidak hanya muncul dari kalangan less-educated dari dua peradaban yang berbeda ini, bahkan juga datang dari kalangan yang well-educated. Banyak sarjana kenamaan dari dua peradaban yang berbeda ini yang jauh sebelumnya telah menggambarkan masing-masing sebagai ancaman bagi yang lain—sekaligus ini menunjukkan ketidakorisinilan tesis Huntington. Akbar S. Ahmed, professor antropologi pada Cambridge University, misalnya, menyatakan bahwa Islam dan Barat dikonstruk sebagai peradaban yang saling berbenturan.[18] Sementara Bernard Lewis, dalam posisi yang berhadapan, menyatakan bahwa Barat menghadapi sebuah sentimen dan gerakan yang tingkatannya jauh melebihi isu, kebijakan, serta pemerintahan mereka. Hal ini tidak lain adalah benturan peradaban, suatu reaksi yang mungkin tidak rasional namun historis dari seorang lawan purba terhadap warisan budaya Yahudi-Kristen.[19] Sementara itu, Judith Miller, salah seorang kolumnis untuk The New York Times, menyatakan bahwa benturan antara Barat dan Islam adalah sebuah keniscayaan. Setelah mengawali tulisannya dengan informasi mengenai pertemuan yang dihadiri oleh para tokoh muslim di Khourtum, Sudan, pada April 1991, Miller menyatakan bahwa upaya penyerangan terhadap Barat sangat mungkin terjadi, dan itu dilakukan oleh umat Islam dengan menghalalkan segala macam cara.[20]
Bagi saya, kesalahan Huntington terletak pada sandaran data sejarah yang digunakan. Dalam mengemukakan tesisnya, Huntington bersandar pada satu data sejarah yang faktual, namun Huntington juga menutup mata dari data lain yang juga faktual. Walaupun pada satu sisi data sejarah menunjukkan adanya pertentangan antar peradaban, namun data sejarah juga menunjukkan bahwa suatu peradaban yang memiliki jangkauan universal, Islam dan Kristen misalnya, juga memiliki kekuatan integralistik yang terbatas. Sejarah juga menunjukkan bahwa dengan berakhirnya perang dingin, kecenderungan yang terjadi bukanlah pengelompokan masyarakat dalam entitas yang tertinggi, yaitu peradaban, melainkan perpecahan menuju entitas yang lebih kecil lagi, yaitu berdasarkan suku atau etnisitas.
Huntington tidak melihat fenomena gerakan budaya multiculturalism yang belakangan banyak berkembang di Amerika serikat, yang bukan hanya mengakui, bahkan juga merangkul kehadiran semua peradaban di Amerika Serikat. Ia bahkan tidak melihat fenomena perkembangan Islam di Amerika yang mencapai 12,5 juta, jauh melampaui Yahudi yang terakhir hanya berkisar 1,5 juta.
[21] Faktor lain yang diabaikan oleh Huntington adalah proses yang berangsur-angsur namun berdampak, yakni semakin lama semakin terwujudnya kesadaran dan hati nuarani global yang tidak terikat pada peradaban tertentu, melainkan mewakili jatidiri kita semua sebagai manusia, lepas dari manapun datangnya.
Pengabaian sebagian besar data sejarah ini mengakibatkan Huntington tidak dapat secara komprehensif memahami kecenderungan umum yang muncul ke permukaan. Hal inilah yang mengakibatkannya terjebak pada narasi besar (grand narration), yakni pandangan-pandangan, ungkapan-ungkapan yang bersifat total tentang persoalan-persoalan dunia. Keterjebakan pada narasi besar ini bukannya tanpa menimbulkan permasalahan sama sekali. Dalam mengidentifikasi peradaban-peradaban dunia dan benturan-benturan di antara mereka, misalnya, Huntington tidak memperhatikan bahwa perbedaan-perbedaan dan benturan dalam masing-masing peradaban pun sangat signifikan dan sangat menentukan. Karena itulah Huntington tidak mampu mengungkapkan banyak hal penting dalam relasi-relasi inter dan antar sub-sub kedua peradaban tersebut. Tesis Huntington tidak akan dapat menjelaskan bagaimana, misalnya, Irak menganeksasi Kuwait padahal keduanya berada dalam lingkup peradaban yang sama, bagaimana Amerika dan sekutunya bekerja sama dengan negara-negara Islam di Timur Tengah menghajar Irak, bagaimana Arab Saudi banyak menerima bantuan dari Amerika Serikat sementara keduanya berada dalam lingkup peradaban yang berbeda.
[22]
Kesimpulan Huntington tentang koalisi Islam-Konfusius berdasarkan penjualan senjata juga nampak mengada-ada. Syria dan Lybia yang menghadapi embargo senjata dari Barat tentu tidak bisa menampik penjualan senjata dari Cina dan Korea Utara yang memang tidak memberikan prasyarat apapun dalam kontrak jual beli senjata. Jual beli senjata antara Cina, Korea Utara dengan negara-negara Islam hanyalah hal yang lumrah belaka. Apalagi sampai saat ini, sebagaimana dikatakan oleh A. Dahana, tidak terlihat adanya “Front persatuan internasional”, sebuah jargon yang paling menonjol dalam strategi dan taktik politik luar negeri Cina, antara negara-negara Islam yang mendapatkan julukan radikal untuk menentang hegemoni Barat. Pola hubungan yang paling menonjol antara Konfusius dan negara-negara Islam justeru pola hubungan yang didasarkan pada kepentingan ekonomi dan perdagangan.
[23]
Sayang sekali, tesis Huntington ditulis pada 1993. Saya hanya ingin mengandaikan bila tesis itu ditulisnya kembali sekarang ini, di mana pun dia menulis, dia mungkin akan menarik kembali semua tesisnya, karena data sejarah yang muncul sekarang ini sudah jauh berbeda. Dia tidak akan lagi mengatakan bahwa Barat menguasai pasar internasional, karena saat ini Barat sedang “keteter” menghadapi dominasi Cina dalam sektor perdagangan dunia. Bahkan, beberapa waktu yang lalu, Jawa Pos melansir bahwa sebuah lembaga riset yang berpusat di Jerman menandaskan bahwa masyarakat dunia menengarai bahwa pada 2020 dominasi Barat akan tumbang dan poros dunia akan berpindah ke China. Dia mungkin juga akan mengatakan telah terjadi koalisi Slavik-Islam, karena kecenderungan dunia Timur atau Islam saat ini lebih senang membeli tehnologi persenjataan dari Rusia. Dia mungkin juga akan tercengang melihat banyak fenomena dialog antar iman, budaya dan bahkan juga peradaban yang berkembang belakangan ini. Pendek kata, Huntington gagal dalam membaca kecenderungan arah sejarah di masa depan. Fenomena-fenomena umum sejarah yang muncul belakangan ini sangat jauh dari apa yang dia prediksikan.
Mengakhiri diskusi ini, saya ingin mengatakan apa yang benar adalah bahwa pemahaman kita tentang berbagai persoalan tersebut selalu bersifat sebagian dan subyektif, dengan kejelasan yang lebih bersumber dari kebutuhan kita untuk memaksakan suatu jenis keteraturan intelektual pada kebingungan yang merebak di antara kita, ketimbang dari realitasnya sendiri.
[1]Francis Fukuyama, “Akhir Sejarah?”, dalam A. Zaim Rofiqi (Ed), Amerika dan Dunia: Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), 2005, hal. 2-3
[2]Deklinisme adalah keyakinan bahwa sesuatu, terutama sebuah negara, sistem politik atau sistem ekonomi, sedang mengalami kemunduran besar dan kemungkinan tidak dapat dipulihkan. Ini merupakan kecenderungan intelektual tahun 1988.
[3]Endisme adalah keyakinan bahwa sebentuk lingkup pengetahuan dan massa, terutama sesuatu yang negatif, telah berakhir. Ini merupakan kecenderungan intelektual tahun 1989.
[4]Samuel P. Huntington, “Tak Ada Jalan Keluar: Kesalahan-kesalahan Endisme”, dalam A. Zaim Rofiqi (Ed), Amerika dan Dunia: Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, (Jakarta: Yayasan Obor Dunia, 2005), hal. 48
[5]Ibid, hal. 48-50
[6]Samuel P. Huntington, “Benturan Peradaban?”, dalam A. Zaim Rofiqi (Ed), Amerika dan Dunia: Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal. 53. Lihat juga Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, terj. M. sadat Ismail, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2000), hal. 10
[7]Ibid, hal. 55-56
[8]Ibid, hal. 57-62
[9]Ibid, hal. 68-73
[10]Ibid, hal. 73-76
[11]Bentuk yang mencolok dari kerjasama Konfusius-Islam adalah munculnya negara-negara yang oleh Charles Krauthammer sebagai “negara senjata” seperti Cina, Korea Utara dan beberapa negara Timur Tengah. Mereka meningkatkan kemampuan militer mereka dengan mengimpor senjata dari Barat dan sumber-sumber non-Barat serta dengan mengembangkan industri persenjataan lokal.
[12]Ibid, hal. 81-84
[13]Ibid, hal. 86
[14]Esposito menyatakan bahwa lebih dari satu milyar pemeluk Islam memenuhi hampir seluruh penjuru dunia. Umat Islam menjadi mayoritas di empat puluh lima negara dari Afrika sampai Asia Tenggara, dan jumlah mereka semakin bertambah di Amerika, Eropa dan bekas negara-negara Uni Soviet. Lihat John L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos Atau Realitas, terj. Alwiyyah Abdurrahman dan MISSI, Bandung: Mizan, 1995, hal. 14
[15]Hal ini tergambar dalam tulisan Patrick J. Buchanan, “ Is Islam An Enemy of The United States?”, New Hampshire Sunday News, 25 November 1990
[16]Donald K. Emmerson, “Konflik Peradaban atau Fantasi Huntington”, dalam Ulumul Qur’an, Nomor 5, Vol. IV Tahun 1993
[17]A. Dahana, “Konfusianisme Plus Islam Versus Barat?”, dalam Ulumul Qur’an, Nomor 5, Vol. IV Th. 1993, hal. 35
[18]Dengan menggunakan kerangka analisis pasca-modernism, Akbar S. Ahmed ingin menunjukkan bahwa benturan peradaban antara Islam dan Barat merupakan refleksi dari era pasca modern. Era ini ditandai dengan sejumlah ciri pokok, misalnya, mempertanyakan proyek modernitas yang dianggap menciptakan suasana yang mendorong umat Islam pada cul-de-sac. Di situ kemudian muncul pertanyaan apakah Tuhan telah berpaling dari umat Islam, atau umat Islam yang berpaling dari Tuhan? Pertanyaan kedua ini banyak mendorong umat Islam pada upaya perubahan atau pergeseran pada identitas keislaman dan menolak identitas asing yang diimpor dari luar, termasuk Barat.
[19]Bernard Lewis, “ The Roots of Moslem Rage”, dalam The Atlantic Monthly, Vol. 266, September 1990, hal. 60
[20]Saiful Muzani, “Benturan Islam-Barat, Suatu Proyek di Zaman Pasca-Modern?” dalam Ulumul Qur’an, Nomor 5, Vol. IV Th. 1993, hal. 5
[21]Emmerson, hal. 45
[22]Saiful Muzani, Op. Cit, hal. 8-9
[23]A. Dahana, Op. Cit, hal. 33

Tidak ada komentar: