Rabu, 26 September 2007

ELEMEN-ELEMEN KEKUASAAN TANAH JAWA (Tafsir Simbolik Atas Tembang "Gethek Sinonggo Bajul")

Sigro milir sang gethek sinonggo bajul, Kawan doso kang

njageni Ing ngarso miwah ing pungkur, Tanapi ing kanan kiri,

Sang gethek lampahnyo alon


A. Gambaran Umum Naskah

Tembang Mijil, dengan guru wilangan 12-8-8-8-8 dan guru lagu u-i-u-i-o/a, tersebut di atas merupakan satu dari sedemikian banyak tembang yang tertulis dalam Babad Tanah Djawi.[1] Naskah asli babad ini ditulis dengan menggunakan huruf Jawa, namun kemudian banyak ditulis ulang atau diterjemahkan secara bebas dengan menggunakan huruf Latin berbahasa Indonesia dan Belanda. Tercatat sedikitnya dua orang sejarahwan Belanda yang menulis ulang naskah ini, yaitu Brandes (1900) dan Meinsma (1874). Sedangkan penterjemahan secara bebas atas naskah ini dilakukan oleh Soedibjo ZH (1980) dan Purwadi bersama Kazunori Toyoda (2005).

Tidak jelas siapa yang menulis naskah kuno yang banyak menjadi acuan para sejarahwan dalam menulis sejarah raja-raja Jawa ini. Bila Meinsma yang paling awal mendalami naskah ini mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi siapa penulis dan kapan naskah ini ditulis maka besar kemungkinan bahwa naskah ini ditulis jauh sebelum sejarahwan Belanda ini berada di Indonesia. Hal ini karena buku Meinsma yang berjudul Babad Tanah Djawi, in Proza, Javaansche Geschiedenis Loopende Tot Het Jaar 1647 der Javaansche Jaartelling [2] terbit di Belanda pada tahun 1874. Proses penelitian dan penulisan buku Meinsma, yang tentu saja mengharuskannya untuk beberapa lama tinggal di Indonesia, sudah pasti dimulai beberapa tahun sebelumnya. Namun, judul buku Meinsma mengisyaratkan bahwa naskah babad ini tentu ditulis setelah tahun 1647. Tidak disebutkan secara jelas apakah tahun 1647 dalam judul buku tersebut adalah tahun Masehi atau tahun Jawa (Ajisaka), yang keduanya berselisih sekitar 78 tahun. Namun, dengan sekilas membaca keseluruhan isi babad tersebut, bisa dipastikan bahwa tahun dalam judul tersebut adalah tahun Masehi. Hal ini karena keseluruhan naskah babad tersebut menceritakan tentang awal mula raja-raja Jawa yang pertama hingga saat meninggalnya raja terbesar Mataram, Sultan Agung Hanyakrakusuma, pada tahun 1646 M. Sedangkan tahun 1647 adalah masa-masa awal pemerintahan Sunan Mangkurat I (1646-1677), anak sekaligus pengganti Sultan Agung, yang penuh pergolakan dan pemberontakan. Pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat I ini Mataram mengalami kemunduran, bahkan muncul gejala-gejala disintegrasi.[3] Situasi Mataram yang penuh konflik ini tentu jauh dari sentuhan babad yang biasanya lebih banyak menggambarkan era keemasan masa lalu. Sangat wajar manakala penulis babad kemudian membatasi dan mengakhiri penceritaan masa lalu pada penggal sejarah pada tahun-tahun tersebut.

Dalam hal ini, R. Atmodarminto, seorang pemerhati naskah-naskah Jawa Kuno, menengarai bahwa babad-babad[4] yang menceritakan raja-raja Islam Jawa, termasuk naskah babad ini tentunya, lebih banyak ditulis oleh pujangga-pujangga Mataram akhir.[5] Identifikasi Atmodarminto tentang kapan kira-kira naskah babad tersebut ditulis, meski tidak menunjuk siapa penulis naskah, nampaknya mendekati kebenaran. Pelacakan waktu penulisan naskah babad ini bisa dipersempit dengan satu sudut pandang bahwa penulisan suatu babad sering menjadi sarana renungan tentang keagungan negara atau generasi di masa silam. Keajaiban atau kegaiban selalu dinisbahkan kepada tokoh-tokoh sejarah yang dianggap sebagai pahlawan yang pantas mendapatkan kehormatan.[6] Bila sudut pandang ini betul, maka generasi yang menuliskan naskah babad ini pastilah generasi yang merasa tertindas dan merindukan keagungan masa silam. Besar kemungkinan bahwa naskah ini ditulis pada masa kolonial, setelah 1680-an. Maka identifikasi Atmodarminto nampaknya kembali mendapatkan pembenaran, karena masa Mataram akhir adalah masa di mana kolonial Belanda mulai “mengacak-acak” tatanan pemerintahan tanah Jawa.

Terlepas dari siapa dan kapan naskah babad ini ditulis, tembang Jawa yang tertulis di dalamnya ini memang menarik untuk disimak. Bagaimana memahami tembang Jawa tersebut, pesan apa yang disampaikannya dan perspektif atau pendekatan apa yang harus digunakan merupakan problem utama yang akan dicari jawabannya dalam makalah yang singkat ini.

B. Pemaknaan Kebahasaan Teks

Sekilas bisa dilihat bahwa bahasa yang digunakan dalam tembang di atas adalah bahasa Jawa baru, meski masih nampak beberapa elemen ke-Jawa kuno-annya. Karena itulah tidak terlalu sulit untuk memahami makna kebahasaan tembang tersebut.

Pemaknaan kebahasaan atas masing-masing kata dalam tembang tersebut adalah sebagai berikut: sigro berarti segera, biasanya kata tersebut menerangkan—dan karenanya selalu berdampingan-- dengan kata kerja. Sedangkan milir berarti meluncur atau berjalan, biasanya digunakan untuk benda-benda yang berjalan atau terapung di atas air. Sang bisa diartikan si (hampir sama dengan kanjeng), yang biasanya digunakan untuk sesuatu atau seseorang yang memiliki derajat atau nilai tinggi, seperti Sang Prabu, Sang Hyang, Sang Guru dan lain-lain. Gethek berarti sampan, bentuknya lebih sederhana dari perahu, gethek biasanya terbuat dari batangan-batangan bambu atau kayu lain, bisa juga berupa batangan pohon pisang, yang diikat dengan tali yang kuat agar tidak lepas. Sinonggo berasal dari kata songgo, yang berarti menopang, mengangkat atau mendorong, yang diberi sisipan in untuk merubah kata kerja aktif menjadi pasif, sehingga sinonggo tidak lagi berarti menopang, mengangkat atau mendorong, melainkan ditopang, diangkat atau didorong. Sementara bajul berarti buaya.

Kawan doso merupakan singkatan dari sekawan doso, yang berarti empat puluh, salah satu dari angka-angka yang dalam tradisi masyarakat Jawa memiliki makna tersendiri. Kang berarti yang, kata penghubung antara kata benda dengan kata kerja atau sifat. Sedangkan njageni berarti menjaga atau mengawal, yang memiliki pengertian mengawal untuk melindungi keselamatan yang dikawal atau mencegah orang yang dikawal melarikan diri, namun dalam konteks ini nampaknya lebih tepat pada pemaknaan pertama. Ing berarti di, kata depan untuk keterangan waktu atau tempat. Ngarso berarti depan, miwah (hampir sama dengan lan) berati dan, sedangkan kata pungkur berarti belakang. Tanapi berarti juga. Lampahnyo berasal dari kata lampah yang berarti jalan, yang diberi akhiran nyo, sebuah akhiran kata yang nampaknya berasal dari elemen bahasa Jawa kuno. Sedangkan alon berarti pelan, namun mengandung suatu kepastian langkah.

Berdasarkan pemaknaan kata per kata dalam tembang tersebut, maka secara tekstual keseluruhan tembang di atas bisa diartikan: “Sampan segera berjalan dengan didorong oleh buaya, empat puluh ekor buaya yang menjaganya, mengawal di depan dan di muka, juga sebelah kanan dan sebelah kiri, sampan tersebut berjalan pelan.”

C. Kritik Historis Penulisan dan Pemahaman Teks

Bila benar bahwa naskah Babad Tanah Djawi ditulis pada masa Mataram akhir maka, meminjam periodesasi sejarah Kuntowidjoyo,[7] naskah babad tersebut ditulis pada fase mitos. Pada fase ini, seluruh aspek kehidupan masyarakat Jawa masih banyak diselimuti oleh mitos-mitos. Karena ditulis pada fase mitos ini, wajar saja manakala yang muncul dalam babad tersebut adalah kehidupan raja-raja atau pemuka agama yang banyak diselimuti oleh mitos, seperti pertarungan antara Sunan Kudus dan Kiai Ageng Pengging, pertarungan antara Jaka Tingkir dengan Dhadungawuk dan buaya-buaya penghuni Kedhung Srengenge, Panembahan Senopati yang beristerikan penguasa laut selatan dan bersahabat dengan para makhluk halus penunggu Gunung Merapi dan lain-lain.

Berpijak pada pemaknaan tekstual, sebagian masyarakat Jawa memahami bahwa tembang “gethek sinonggo bajul menceritakan perjalanan Jaka Tingkir, putera Kebo Kenongo yang di kemudian hari menjadi penguasa kesultanan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya, bersama tiga orang kawannya dari Banyubiru ke Prawata. Karena perjalanan darat dirasakan terlalu jauh dan melelahkan, maka mereka memutuskan untuk menempuh perjalanan tersebut lewat sungai. Dengan menaiki sampan (gethek), mereka menyusuri Sungai Dengkeng, Bengawan Picis dan akhirnya sampai di Kedung Srengenge. Di tempat terakhir inilah secara tiba-tiba sampan yang mereka naiki telah dikepung oleh ratusan buaya yang siap memangsa mereka. Namun, dengan berbekal kesaktian yang sangat tinggi Jaka Tingkir dan kawan-kawannya dapat mengalahkan buaya-buaya tersebut. Bahkan, dengan sukarela buaya-buaya tersebut akhirnya mendorong dan mengawal sampan yang mereka naiki hingga sampai pinggir Desa Bulu, satu desa dengan sungai yang terdekat dengan wilayah Prawoto.[8]

Bagi masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah bagian Selatan, Jaka Tingkir merupakan pahlawan besar yang kepadanya disandarkan cerita-cerita atau mitos-mitos kesaktian. Dia, sejalan dengan pemaknaan tekstual tembang di atas, dianggap menguasai masyarakat buaya, sebagaimana kakeknya Jaka Sengara, yang juga dikenal dengan sebutan Adipati Handayaningrat.[9]

Menurut saya, tembang “gethek sinonggo bajul” di atas tidak harus ditafsiri dengan model penafsiran tekstual. Karena penafsiran tekstual atas tembang tersebut hanya akan menyeret kita pada kepercayaan akan mitos-mitos tentang seorang pahlawan Jawa yang dengan segenap kemampuan “linuwih”-nya mampu mengalahkan ratusan buaya, dan memerintahkan empat puluh ekor di antaranya untuk mengantar perjalanannya bersama beberapa temannya ke Prawoto. Penafsiran yang cukup menarik diberikan oleh Suwardi Endraswara. Dia tidak memaknai buaya-buaya yang membantu Jaka Tingkir dengan penafsiran tekstual. Menurutnya, yang membantu Jaka Tingkir bukanlah kawanan buaya, melainkan kawanan perampok (begal) di bawah pimpinan Bajul Sengara yang banyak beroperasi di sekitar Kedhung Srengenge.[10]

Bagi saya, penafsiran atas tembang tersebut akan lebih tepat bila menggunakan model penafsiran simbolik, yang pertama kali diintrodusir oleh Paul Ricoeur.[11] Penafsiran simbolik akan memberikan perspektif yang berbeda dalam membongkar model penafsiran tunggal sebagaimana yang telah dilakukan oleh masyarakat Jawa atas tembang tersebut.

Dengan mengoperasionalkan penafsiran simbolik, maka teks tembang tersebut dianggap bersifat otonom, berdiri sendiri, tidak bergantung pada maksud pengarang atau pada situasi historis naskah di mana tembang tersebut tercantum dan pada pembaca-pembaca pertama. Menafsirkan tembang tersebut berarti menghubungkann antara dua wacana, yaitu wacana tembang dan wacana interpretasi. Penafsiran selesai ketika “dunia tembang” menyatu dengan “dunia penafsir”. Maka, dua wacana atau dua dunia yang menyatu tersebut menghasilkan suatu penafsiran yang sangat berbeda dengan pemahaman masyarakat Jawa selama ini.

D. Penafsiran Teks

Tembang di atas secara tekstual tidaklah berdiri sendiri. Tembang tersebut berada di antara dua tembang Mijil yang ada dalam buku Babad Tanah Djawi. Namun, menurut saya, ketika tembang tersebut telah menjadi populer di kalangan masyarakat Jawa dan banyak dilagukan secara terpisah dari basis tekstual yang mengantarainya, maka tembang tersebut dengan sendirinya menjadi lepas dan bisa ditafsiri oleh siapa saja dengan perspektifnya masing-masing.

Pemahaman secara tekstual atas tembang di atas akan menghadirkan dalam benak kita sebuah gambaran tentang seorang atau beberapa orang ksatria yang menempuh perjalanan dengan menyusuri sungai. Mereka tidak lagi perlu mengayuh dayung, karena sampan (gethek) yang mereka tumpangi telah didorong dan disangga oleh kawanan buaya, dan empat puluh ekor di antaranya menjaganya. Cukup dengan memberikan perintah atau aba-aba, maka buaya-buaya tersebut akan mengantarkannya sampai tempat tujuan.

Menurut saya, dengan mengoperasionalkan penafsiran simbolik, gambaran fisik di atas bisa dipahami dalam logika ilmu politik. Gethek secara kebahasaan memang merupakan sarana transportasi air, namun gethek bisa dimaknai sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ia juga bisa dimaknai sebagai purbawasesa (kekuasaan) untuk mencapai kemakmuran sebuah negara. Sedangkan para ksatria yang berada di atas gethek adalah para raja yang karena kecakapannya diberi purbawasesa. Sementara kata-kata yang diucapkan para penumpang sampan (gethek) untuk memerintahkan mengayuh dayung tentu bisa dimaknai sebagai keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan penting yang mesti diambil oleh raja dalam kerangka penyelamatan negara dan kesejahteraan rakyat.

Air yang menjadi pijakan sampan (gethek) untuk sampai ke hilir atau hulu adalah rakyat (kawulo), masyarakat kecil yang kadang santun dan tunduk kepada rajanya, namun pada suatu waktu ketika terusik harga dirinya akan menjadi sedemikian garang. Air bisa menenggelamkan orang-orang yang berada di atas gethek, sebagaimana rakyat kecil yang karena diperlakukan secara tidak adil juga akan membahayakan eksistensi kekuasaan raja. Sementara bajul yang menjadi penunggu sungai bisa dimaknai sebagai tokoh masyarakat, bangsawan-bangsawan lokal atau para punggawa kerajaan. Para tokoh masyarakat atau bangsawan lokal ini akan menambah wibawa eksistensi suatu masyarakat, sehingga tidak akan diobok-obok oleh orang luar, sebagaimana sungai yang dihuni buaya juga tidak akan dibuat mandi secara sembarangan. Seorang raja akan memiliki legitimasi yang kuat manakala kekuasaannya didukung oleh para tokoh masyarakat, bangsawan dan punggawa kerajaan, sebagaimana sampan akan berjalan menyusuri sungai dengan langkah yang pasti.

Sedangkan “kawan doso” tidak harus dimaknai secara kaku dengan empat puluh, meski dalam tradisi masyarakat Jawa angka tersebut dianggap memiliki nilai tersendiri. Dalam tradisi masyarakat Jawa, angka empat puluh memang dianggap keramat dan punya nilai mistis. Itulah sebabnya mengapa biasanya para penguasa Jawa menjadikan angka tersebut sebagai jumlah pasukan elit pengawal raja, semacam pasukan pengawal dan pengaman presiden (paspampres) untuk saat ini. Hal ini dapat dilihat pada jumlah prajurit bayangkara (pasukan elit pengawal raja Majapahit) dan prajurit wiratamtama patang puluhan (pasukan elit pengawal Sultan Demak). Namun, penafsiran saya mengabaikan kekhasan angka tersebut. Menurut saya, “kawan doso” haruslah dimaknai sebagai bilangan yang sangat banyak. Buaya yang berjumlah empat puluh haruslah dimaknai sebagai sebanyak mungkin tokoh masyarakat, bangsawan lokal dan punggawa kerajaan. Maka semakin banyak tokoh masyarakat atau punggawa kerajaan yang bisa diorganisir oleh raja maka semakin kuatlah kekuasaannya.

Secara umum, tembang “gethek sinonggo bajul” bisa dimaknai sebagai kemampuan seorang ksatria atau calon raja untuk mengorganisir elemen-elemen kekuasaan seperti rakyat (kawula), bangsawan-bangsawan lokal (adipati dan demang) atau para punggawa kerajaan. Tembang tersebut menggambarkan elemen-elemen kekuasaan tanah Jawa yang harus dirangkul, diakomodir dan diorganisir oleh raja dalam rangka melanggengkan kekuasaannya. Seorang raja, bila dia ingin menjadi raja yang benar-benar “gung binathara”, haruslah mampu mengorganisir elemen-elemen kekuasaan yang ada di bawahnya, dengan membuat kebijakan-kebijakan yang populis. Bila hal itu tidak dilakukan oleh seorang raja, maka cepat atau lambat kekuasaannya dijatuhkan oleh rakyat atau punggawanya.

Saya kira tembang di atas sangat tepat untuk menggambarkan suasana kondusif yang diwujudkan oleh Karebet, pemuda dari Tingkir yang kemudian karena kecakapannya mampu menjadi sultan yang disegani di seluruh penjuru tanah Jawa. Pada masa pemerintahannya, hampir tidak pernah terjadi pergolakan-pergolakan politik yang bisa mengancam keutuhan kekuasaannya. Dia mampu mengorganisir seluruh kekuatan-kekuatan politik yang ada, bukan hanya di wilayah pedaman, melainkan juga di wilayah pesisir tanah Jawa. Bahkan, “tahta suci” Giri pun menaruh rasa hormat dan mentahbiskannya sebagai sultan yang membawahi hampir seluruh adipati dan penguasa tanah perdikan di tanah Jawa.

E. Kesimpulan

Berpijak pada penafsiran dan perspektif yang saya gunakan di atas, saya bisa menyimpulkan bahwa pesan yang ingin disampaikan oleh tembang di atas sebenarnya adalah pesan politik bagi generasi setelah tembang tersebut ditulis, termasuk generasi kita sekarang ini. Inti pesan tembang di atas adalah bahwa untuk menjadi raja atau pemimpin yang baik dan tetap survive diperlukan kemampuan untuk mengorganisir kekuatan-kekuatan dan elemen-elemen kekuasaan yang ada di bawahnya, misalnya rakyat, bangsawan lokal dan punggawa kerajaan. Sang raja atau pemimpin harus mampu mengeluarkan titah yang dapat memuaskan hati elemen-elemen kekuasaan tersebut, berupa keputusan dan kebijakan yang memihak pada rakyat kecil.

Semarang, 31 Juli 2006

Akhmad Arif Junaidi,



[1]Naskah kuno ini dapat dilihat pada Perpustakaan Nasional seri No. 1289

[2]Lihat Meinsma, JJ, Babad Tanah Djawi in Proza, Javaansche Geschiedenis Loopende Tot Het Jaar 1647 der Javaansche Jaartelling, ‘s-Gravenhage: KITLV, 1874

[3]Pada masa pemerintahannya, Sunan Amangkurat I banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak populer yang menimbulkan disintegrasi. Lihat S. Margana, Kraton Surakarta dan Yogyakarta: 1769-1874), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal. xv

[4]Termasuk dalam babad-babad tersebut adalah Serat Kandha, Tembang Babad Demak dan Babad Tanah Djawi.

[5]R. Atmodraminto, Babad Demak Dalam Tafsir Sosial Politik Keislaman dan Kebangsaan, Jakarta: Millenium Publisher, 2000, hal. vii

[6]Berdasarkan cara pandang ini, Slamet Muljana bahkan berani mengidentifikasi bahwa Babad Tanah Djawi ditulis pada awal abad ke-18. Lihat Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LKiS, 2005, hal. xviii

[7]Kuntowidjoyo membagi periodesasi sejarah orang Islam Jawa menjadi tiga fase. Pertama, fase mitos yang dimulai dari awal kedatangan Islam hingga tahun 1800-an dengan ciri-ciri kehidupan religio-mitos, di mana kehidupan orang-orang Jawa masih diselimuti mitos. Kedua, fase ideologi yang dimulai dari 1800-an hingga pertengahan era orde baru, yang ditandai dengan munculnya upaya menjadikan agama sebagai ideologi sosial yang bersifat responsif. Ketiga, fase ilmu atau ide yang ditandai dengan munculnya spirit keagamaan yang beridentitas urban dan penempatan agama agent of progress bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Lihat Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Yogyakarta: Sholahudin Press, 1994, hal. 29

[8]Tentang kisah perjalanan hidup Jaka Tingkir ini secara lengkap dapat dilihat pada Agus Wahyudi, Karebet: Kisah, Intrik dan Keteladanan, Yogyakarta: Pustaka Dian, 2005

[9]Beberapa sumber menyatakan bahwa Adipati Handayaningrat masih kerabat penguasa Majapahit dan keturunan Gajah Mada. Oleh Majapahit dia dianggap berjasa karena berhasil menaklukkan wilayah ujung Timur, yaitu Blambangan dan Bali. Dengan bantuan masyarakat bajul (buaya), dia berhasil mengalahkan pasukan Raja Menak Badong (Badung, Denpasar). Dalam pertempuran di Majapahit melawan para santri yang dipimpin oleh Sunan Kudus, Adipati Handayaningrat tewas bersama Kebo Kanigoro, anak pertamanya. Lihat De Graaf dan TH Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1985, hal. 233-237

[10]Suwardi Endraswara, Tradisi Lisan Jawa, Yogyakarta: Narasi, 2005, hal. 174

[11]Paul Ricouer adalah seorang filusuf kelahiran Perancis pada tahun 1913. Terlahir dalam keluarga Kristen Protestan dan keluarganya juga dikenal sebagai keluarga cendekiawan. Lihat K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta: Gramedia, 1996, hal. 254

Tidak ada komentar: